29. Darah Yang Berbeda

1.3K 273 80
                                    

Irene selalu menganggap dirinya adalah gadis yang kuat.

Ketika ayahnya meninggal, dialah yang meemberitahukan hal itu pada Taeyong. Ponsel ibunya tidak bisa dihubungi, jadi rekan kerja sang ayah beralih menelponnya, meminta dia datang ke rumah sakit hanya untuk mendapati ayahnya tidak bernapas lagi.

Irene pikir itu adalah akhir. Saat itu, tanda-tanda kehancuran rumah tangga orang tuanya sudah terlihat dari seringnya pertengkaran mereka terjadi, dan intensitas ibunya keluar rumah. Tanpa ayahnya, bagaimana dia akan bertahan? Apa yang akan dia makan? Lalu dia teringat Taeyong dan menyadari bahwa duka itu tidak boleh menghancurkannya.

Menjadi seorang kakak, artinya kau punya seseorang untuk dijaga dan dilindungi, adik yang bergantung padamu terlebih di saat yang sulit.

Jadi detik itu, Irene memutuskan dia harus bangkit, kembali berdiri.

Dia menjemput Taeyong di sekolahnya, membelikannya makanan favoritnya. Irene menunggu sampai Taeyong selesai makan, lebih tenang, barulah mengatakan apa yang terjadi pada ayah mereka; bagaimana kronologinya, rencana Irene untuknya.

Yang paling menyakiti Irene adalah, ekspresi Taeyong yang langsung berubah kosong.

Taeyong tidak menangis. Dia hanya terlihat bingung, tidak paham, sehingga Irene harus mengulang informasinya sebanyak 3 kali. Adiknya dekat dengan ayah mereka, sehingga saat diberitahu ayah takkan pernah pulang lagi dan bermain game dengannya, Taeyong benar-benar terguncang.

Irene remaja berkata, "Nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Nanti kita urus ini bareng-bareng, ya? Kalau berdua pasti bisa."

Taeyong mempercayainya tanpa keraguan sedikitpun, seperti saat Irene mengajari dia sepeda tanpa roda untuk pertama kalinya dan berkata bahwa sekolah itu menyenangkan.

Hari saat ayahnya meninggal, Irene tumbuh dewasa.

Sejak saat itu, dia menjalankan banyak peran untuk adiknya. Ketika Taeyong sakit, dialah yang berlari ke apotek. Mengambil rapornya di akhir tahun pelajaran, dan secara sembunyi-sembunyi bekerja agar mereka bisa makan meski Taeyong melarangnya.

Tapi sekarang, dia tidak merasa menjadi sosok yang kuat sama sekali.

Dia hanya merasa takut dan shock. Dengan kalut, di depan cermin toilet mall yang ia pilih sebagai tempat persembunyiannya, dia menunggu balasan pesan dari Joy. Benaknya terus memutar ulang bayangan ibunya yang tertawa bersama Park Jinwoo dan bayangan itu bagai membakar otaknya.

Kemudian, Irene ingat bahwa beberapa hari yang lalu, ibunya datang ke kantornya entah untuk tujuan apa. Irene mendengarnya mendesah kecewa dan menitipkan nomor ponselnya pada Joy yang berbohong dengan lancar berkata dia sedang keluar.

Saat ini, nomor telepon itu Irene butuhkan.

Walaupun sedikit, Irene punya harapan bahwa Yena tidak bersalah. Yena yang Irene kenal, berkencan dengan pria berbeda tiap beberapa minggu, sedangkan perceraian orang tua Jisung terjadi tahun lalu. Rasanya mustahil Yena bisa bertahan dengan satu pria selama setahun. Mungkin一tidak ada salahnya berharap一Yena baru berkencan dengan Jinwoo dan tidak ada hubungannya dengan Asa.

Masalahnya begini, pemikiran bahwa ibunya jadi salah satu penyebab hidup seorang anak yang tidak bersalah sampai sekacau ini, sangat tidak tertahankan bagi Irene. Itu terlalu mengerikan. Yena tentu tidak sekejam itu, meski Park Jinwoo tampan dan kaya dan sebagainya. Irene ingin percaya bahwa Yena masih punya hati nurani...

Ponselnya bergetar.

Irene menunduk, lega itu adalah notifikasi pesan yang ia tunggu. Sekali ini, dia bersyukur atas sikap keras kepala Joy yang tidak membuang nomor itu karena takut Irene membutuhkannya.

Determination ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang