Park Jinwoo tidak pernah menginginkan sosok anak.
Bagi sebagian orang memang itulah yang menjadi tujuan sekaligus alasan terbesar mereka menikah. Lucunya, ada yang menganggap punya anak sebagai semacam pencapaian, seakan semakin sempurna anakmu, semakin meningkat pula taraf hidupmu dan punya jaminan, tabungan berjalan, mengenai masa tua.
Jinwoo tidak sepicik itu; dia tidak sama.
Jujur saja, saat Jinwoo menikah, dia tidak melakukan itu karena didesak orang tua, apalagi ingin bergaya.
Jinwoo menikah sekedar karena penasaran.
Dia ingin tahu bagaimana rasanya punya seseorang yang menyeduh kopi untuknya sepulang bekerja. Tidak perlu khawatir tentang pasangan saat ada acara yang tidak bisa didatangi sendiri, atau merawatnya ketika ia sakit.
Tapi yah, memang, harus ia akui bahwa dia menyukai Asa一setidaknya dulu.
Dulu, dia dan Asa bahagia. Asa tipe penurut, suka mengalah, menghindari konflik sebisa mungkin. Asa cantik. Dia mengerjakan tugas rumah dengan baik. Ada masa ketika Jinwoo merasa bahwa dia dan Asa adalah pasangan yang tepat dan mereka tidak memerlukan apa-apa lagi. Cukup begini saja, berdua. Buat apa punya anak? Semua orang tahu anak-anak itu merepotkan dan demi Tuhan, Jinwoo tidak akan tahan!
Tuhan berkata lain; Asa hamil.
Jinwoo rasa, dari situlah hubungan mereka mulai berantakan.
Jangan salahkan Jinwoo dalam hal ini! Dia sudah berkali-kali bilang, "Minum pilmu", "Cepet beli kalau habis" tapi Asa tidak mendengarkannya. Dia bersikeras menginginkan anak tanpa menggubris kata-kata Jinwoo yang berkata tak ada yang lebih dia benci dari suasana berisik一bahkan jika suasana itu berasal dari tangisan anaknya.
Tanggal 5 Februari tahun 2002, anak itu lahir.
Asa memberinya nama Jisung. Nama yang indah dan mirip dengannya. Dia sangat bahagia dan tak henti-hentinya memuji betapa tampannya anak itu.
Tapi Jinwoo hanya berdiri di pojok ruangan, bersedekap, dan berkata Jisung harus dibiarkan tidur tiap ada perawat yang bertanya apakah dia mau menggendongnya.
Menggendong bayi!
Yang benar saja! Jinwoo, sang anak tunggal tersayang, tidak pernah melakukan hal mengerikan itu. Dia selalu dimanja oleh ayah dan ibunya yang harmonis, tidak pernah melakukan tugas apapun, terlebih dipaksa mengasuh bayi. Bagaimana kalau dia buang air? Atau menangis?
Tuhan kiranya menolongnya, belakangan setelah mereka pulang dari rumah sakit, memang itulah yang sering dilakukan si bayi; menangis.
Jinwoo merasa dia butuh penyumbat telinga sejak itu. Bayi itu menangis saat popoknya penuh. Dia menangis saat lapar, haus, dan di tengah malam, membuat Jinwoo sulit tidur.
Jinwoo, yang tidak siap dengan kondisi itu, mulai tidak betah di rumah.
Lalu pertengkaran-pertengkaran itu hadir, tumbuh dan berkembang di keluarga mereka seperti sekuntum bunga beracun yang akarnya tidak bisa dicabut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Determination ✔️
Fiksi Penggemar[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena pekerjaan, Lee Taeyong tidak mengharapkan apapun selain hidup tenang dan damai. Namun sejak bertemu Park Jisung, remaja yang punya keluarga...