Salah satu keuntungan jadi staf selain penambahan gaji adalah, Taeyong mendapat jatah libur 2 hari.
Rencananya, ia akan tidur seharian, makan, memberi makan Ruby, dan tidur lagi. Bagi Taeyong, rencana itu sempurna. Jadwalnya shift pagi besok, dan gagasan tentang bangun pagi saja membuatnya mengantuk, jadi ia akan memuaskan hasratnya untuk berkencan dengan bantal.
Sebelum ketukan itu mengganggunya.
Ruby-lah makhluk pertama yang mendengar ketukan tersebut, lalu naik ke tubuh Taeyong dan menggonggong. Perpaduan suara keduanya berhasil menarik Taeyong dari alam mimpi, mengembalikan kesadarannya sedikit demi sedikit.
Ia terbangun, dengan umpatan variatif yang berebut keluar dari mulutnya.
Sedikitpun, Taeyong tak bisa menebak siapa yang datang sepagi ini, mengingat ia tidak punya hutang atau kenalan yang cukup dekat hingga mau bertamu di jam yang tidak sopan. Irene juga tidak mungkin karena kakaknya baru datang kemarin.
Siapa sih?
Taeyong menyeret kakinya yang belum tersambung dengan otaknya dan membuka pintu. Sinar lampu dari ruang duduk membuatnya silau. Matanya menyipit, mendapati siluet seorang pria muda yang mengangkat cup mie instan miliknya tinggi-tinggi. "Boleh minta air panas?"
Bocah aneh.
10 menit kemudian, Taeyong dan Winwin sudah duduk bersama di kursi meja makannya yang menyatu dengan dapur. Yang satu nyengir lebar, yang lain masih berusaha tetap terjaga. "Jadi namamu Winwin? Nama apaan Winwin?"
Orang yang dia ajak bicara mengedikkan bahu, menghirup aroma mie-nya yang membuat Taeyong ikut lapar. "Aku orang China, ge." Jawabnya, seolah itu menjelaskan sesuatu.
Padahal tidak sama sekali.
Tapi mungkin, Winwin adalah nama yang cukup umum di sana. Beda negara, beda budaya. Taeyong tidak tahu banyak tentang negara itu karena sebagian besar temannya berasal dari negara yang sama. "Oh." Ia mengangguk-angguk, minum segelas air, lantas mengulurkan tangan. "Taeyong."
Winwin, si pria berwajah bayi yang umurnya sulit ditebak, membalas uluran tangannya. Tangan Winwin terasa terlalu lembut untuk ukuran pria一tipe orang yang tidak pernah melakukan pekerjaan kasar. "Udah tahu dari Hyuk."
Taeyong mengangkat sebelah alis. Beri Winwin nilai plus untuk kejujuran. Ia selalu menyukai orang yang berterus terang walaupun penasaran apa saja yang digosipkan Winwin bersama si satpam apartemen. "Lama tinggal di sini, Win?"
Berhenti makan, Winwin menatap langit-langit一gerakan khas seseorang saat tengah mengingat-ingat. Jari-jarinya yang berujung ke kuku-kuku bersih dan pendek mengetuk-ngetuk bagian samping cup. "Dari sebelum kuliah, berarti sekitar ... 4 tahun."
Berasumsi Winwin lulus kuliah tepat waktu, Taeyong berseru terkejut, "Umurmu 22?!"
Winwin terkekeh, tampak sudah biasa mendapat respon semacam itu. Taeyong pastilah bukan orang pertama yang terkejut mengetahui usianya一yang semula ia kira berkisar belasan. Berani taruhan, Winwin bisa dengan mudah berkata dia masih SMA dan semua orang akan percaya padanya. "Aku emang awet muda. Sering disangka masih sekolah."
Kepercayaan diri berlebih dalam suaranya membuat Taeyong mendengus, lantas meluruskan kaki. Pandangannya beralih pada Ruby yang memainkan sebuah bola, menggelindingkan benda itu dan mengejarnya dari satu sudut ke sudut lain. Apa yang akan ia tanyakan sebentar lagi adalah topik yang berat, tapi Taeyong berpura-pura bahwa itu bukan masalah besar. "Kalau gitu ... tahu Asa? Yang tinggal di unit 92?"
Nada suara Taeyong, atau nomor apartemen yang ia sebut, mendadak membuat Winwin menghentikan acara makannya. Gigi atasnya menggigit bibir bawah, tanda dia sedang gelisah, khawatir, atau ... tertekan? "Mamanya Jisung? Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Determination ✔️
Fanfic[TRIGGER WARNING : Buku ini mengandung konten kekerasan pada anak] Ketika pindah ke apartemen barunya karena pekerjaan, Lee Taeyong tidak mengharapkan apapun selain hidup tenang dan damai. Namun sejak bertemu Park Jisung, remaja yang punya keluarga...