Silih Berganti

22 2 0
                                    

Dari pagi Nara sudah stand by memegang handphone, men scroll website PPDB online tahun ajaran kali ini mencari namanya diantara ratusan nama murid yang lain. Kemarin siang namanya masih berada di urutan 112 tapi hari ini tidak ada, sudah ia amati lamat-lamat dan ternyata benar namanya sudah tersingkir dari sekolah tujuan pertama, Smanda


Nara beralih mencari namanya di sekolah kedua membaca satu persatu nama hingga urutan terakhir, hasilnya sama saja namanya tidak ada. Ingin rasanya Nara menangis karena selama menjelajah nama tadi beberapa kali ia menemukan nama teman-temannya disana. Bahkan beberapa temannya yang diketahui tidak terlalu pintar dan tidak memiliki nilai yang tinggi berada di urutan 130 besar.

Ini semua karena sistem baru yang diterapkan pemerintah pusat, sistem zonasi. Kecewa? Pasti, susah payah ia belajar sebulan sebelum Ujian Nasional agar nilainya tinggi dan lebih mudah masuk ke sekolah Negeri hingga begadang tapi harapannya tidak terwujud.

Fiska temannya di tahun pertama sekolah yang memiliki nilai UN jauh lebih rendah darinya berada di urutan nomor 121. Fiska terbantu oleh lokasi tempat tinggalnya yang hanya berjarak 50 m dari sekolah.

Sistem zonasi mengajarkan, yang berjuang mati-matian akan kalah dengan mereka yang dekat setiap saat.

"Nama kakak nggak ada lagi" Katanya lesu menghampiri nenek dan bunda yang sedang duduk di meja makan.

"Di sekolah satunya?" Nara menggeleng menjawab pertanyaan bunda, lalu menceritakan bahwa Fiska bisa diterima disekolah Negeri favorit itu.

"Fiska yang dulu sering banget main kesini itu? Yang kamu bilang nilainya pas-pas an terus itu?" Nara mengangguk lagi. Ya, Nara sering bercerita tentang Fiska yang seperti tidak memiliki keahlian apapun dan selalu mendapatkan nilai rendah ataupun pas-pas an oleh karena itu dengan baiknya Nara membantu Fiska memahami pelajaran mana yang kurang dipahami dan mengulang kembali pelajaran tersebut walau dirinya juga tidak begitu mengerti, setidaknya belajar bersama.

Tapi Fiska malah tidak tahu diri, dirinya bermain handphone selagi Nara mengulang materi atau sibuk makan saat mereka mengerjakan tugas bersama. Reaksi Nara? Diam dan menahan kekesalannya dalam hati, tidak berniat menegur apalagi memarahi karena paham Fiska itu sulit diajak serius.

Nenek menatap iba cucu pertamanya itu, menyodorkan sepiring melon yang telah dipotong dan dikupas kehadapan Nara agar gadis itu lebih bersemangat sedikit.

Nara menggeleng lagi lalu menghela napas pelan, meminum air putih yang tersedia di atas meja makan.

"Jadinya gimana bun? Masuk swasta? Biaya nya lebih mahal"

"Nggak papa, jangan pikirin masalah biaya kamu cukup belajar dengan baik dan rajin. Rezeki sudah diatur sama Allah, nanti bunda bicarain sama ayah"

"Makan aja gih belum makan kan?" Tawar nenek.

"Nggak nek, kakak ke kamar aja ngantuk"

★★★

"Nara nggak masuk sekolah Negeri yah, jadi pilihan lain ya masuk swasta" Bunda menghampiri ayah dengan segelas teh ditangan. Keduanya sedang berada diruang tengah dekat kamar Nara, menyaksikan siaran tv.

"Kok bisa nggak masuk? Nilai Nara kurang tinggi? Kebanyakan main hp pasti"

"Nilai Nara sudah tinggi sebenarnya tapi sistem baru ini yang buat sulit. Sekolah pilihan Nara juga tinggi nilainya kalo Nara pilih Smanes pasti masuk"

What IfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang