Chapter 4

1K 71 0
                                    

Aku tersenyum senang, ketika semua persiapan berjalan lancar dan tamu-tamu Ibu mertuaku berdatangan tepat setelah minuman juga makanan pembuka dihidangkan.

Jumlah mereka sekitar sebelas sampai tiga belas orang dengan tampilan yang lebih menonjol dari si pemilik acara. Satu hal yang paling kusukai dari Ibu mertuaku, penampilan yang sederhana, namun tetap terlihat bahwa dia berasal dari kalangan kelas atas.

Saat kulihat Ibu mertua sudah sibuk dengan teman-temannya, aku mundur, perlahan-lahan berniat untuk menyelinap karena Neil bisa saja sudah tidak lagi berada di rumahnya. Meski Neil sering terlambat berangkat ke Harrison Express, aku tetap tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertemu.

“Sayang ... bisakah kalian ikut bergabung bersama kami?” Suara panggilan Ibu mencegatku, ketika aku bersiap untuk berbalik.

Tapi, tunggu, kalian? Aku menoleh ke arah pintu. Ternyata ada sosok suami berengsekku sedang melangkah seraya melambai ke arahku. Ah, sial!

Ini pasti ulah Bu Vivian. Tapi apa Jay tidak sibuk? Biasanya dia tidak akan mau keluar di jam kerja, terutama pagi hari seperti ini.

“Jay, Ravabia, ke sini sayang,” panggil Ibu. Kali ini dia melambai-lambai dengan cerianya.

Aku menggeram dan menghela napas lelah. Jay menghampiriku dengan senyum palsunya. Dia merangkul pundakku sembari berbisik. “Ikuti saja. Aku juga selalu berusaha menyenangkan hati Ayah dan Kakekmu, jika mereka meminta hal-hal seperti ini. Kau ingat kan?”

“Tidak perlu kau beritahu, aku ingat. Tapi jauhkan tanganmu dariku saat Ibu tidak melihat,” kataku setengah mengancam.

“Baiklah. Aku setuju,” sahut Jay, merapatkan tubuhnya padaku saat Ibu dan beberapa temannya menatap lurus pada kami, terlihat tertarik dan ingin banyak bertanya.

Aku berusaha bertahan meski tubuhku menolak terus ditempeli oleh Jay, kulit bertemu kulit, menjengkelkan sekali!

“Waah, pasangan terbaik di Madeline,” cetus seorang wanita paruh baya yang terlihat paling ‘ramai’ dengan kilauan berlian di beberapa jari, pergelangan tangan, telinga, dan lehernya. Luar biasa! Jika ditotal, pastinya semua benda itu bisa mencapai milyaran.

“Terima kasih, Nyonya Duny,” ucap Jay, mewakili.

Aku mengangguk dan kembali tersenyum palsu, menikmati bagaimana Jay memperlakukanku bak Ratu di hari tanpa angin dan hujan. Membukakan kursi, lalu mempersilahkanku duduk, layaknya pelayan yang setia.

“Bisa kau lihat, betapa Jayden dapat diandalkan sebagai seorang suami,” bisik seorang wanita lain pada wanita di sampingnya. Sebenarnya tidak mirip bisikan, karena dia bisa membuatku yang berada diseberang meja mendengarnya.

Jay menendang pelan kakiku, membuatku tertawa untuk menanggapi bisikan keras dari salah satu teman Ibunya. “Oh, benar sekali, Nyonya. Jay adalah suami yang paling luar biasa bagiku. Semua Ibu begitu menginginkan dia untuk menjadi menantu mereka.” Dengan rasa mual di ujung tenggorokanku, aku melempar senyum ke arah Jay di sisiku.

Menyebalkannya Jay menanggapi hal itu dengan mencium pipi kananku. Seketika wajahku memerah menahan amarah, tapi aku hanya tersenyum berpura-pura malu sambil menggenggam tangan Jay, lalu kakiku menginjak perlahan, tapi kuat pada punggung kakinya.

Jay meringis, menggenggam semakin erat pada tanganku hingga terasa sangat menyakitkan untukku. Ingin sekali kujambak rambut lebat Jay yang sudah ditata rapi, serta meninggalkan bekas cakaran di wajah menyebalkannya itu.

“Kapan kalian akan merencanakan program untuk memiliki bayi?”

Pertanyaan itu seketika membuatku tidak senang. Ya, ini merupakan pertanyaan yang selalu kuhindari sejak setahun belakangan. Setahun pernikahan mungkin cukup untuk mengalihkan pertanyaan seputar kehamilan, tapi di tahun kedua, semua semakin terasa mendesak dan menyudutkanku. Tidak adakah pertanyaan yang lain?

“Aku dan Ava masih ingin menikmati kebersamaan dan kemesraan kami seperti ini, Nyonya Plum,” jawab Jay, tersenyum lembut pada wanita yang terlihat paling tua di antara semua tamu yang diundang Ibu mertua.

Wanita itu terkesima, menatap dengan pandangan kedua mata yang berbinar haru. Adakah pria sekaligus suami terbaik selain Jayden Martin baginya? Oh, dia terpesona dengan cepat oleh ucapan Jay yang berbisa bersama penampilan sempurnanya.

“Terima kasih, sayang. Kau suami terbaikku,” ucapku lirih sembari menyandarkan kepalaku di bahu Jay dengan sikap mesra yang dibuat-buat.

Jay mencium punggung tanganku, lembut. “Ya sayang, aku mencintaimu.”

“Aku juga,” jawabku tidak kalah lembutnya.

Suasana seketika riuh dengan tawa dan decak kagum para tamu, termasuk Ibu mertuaku. Ada senyum bangga yang terukir di wajah dengan kerutan halus milik Bu Vivian. Dia pasti berbangga hati pada Putra tunggal yang dimilikinya. Sangat bisa diharapkan.

Aku terus dalam posisi seperti ini karena sadar beberapa tamu Ibu mertua mengambil foto kami berdua, dan tujuannya hanya satu, membagikannya ke sosial media.

Bukan hal pertama bagi kehidupan rumah tangga sialan ini. Kami terbiasa, sangat terbiasa menjadi bahan perbincangan di media sosial yang kenyataannya, bukan aku atau Jay pelaku dari sebar menyebar foto-foto menggelikan itu.

Masyarakat Madeline begitu mencintai keluarga Martin, setahuku, sejak Kakek Hamlet berada dipuncak kejayaannya dulu, dia senang berbaur dan berbagi pada masyarakat Madeline.

Dan hal itu turun temurun dilakukan oleh generasi setelahnya, Kendrick—Ayah Jay—dan Putra tunggalnya, Jayden.

Sehingga tidak perlu heran jika semua masyarakat berlomba-lomba membanggakan seorang Jayden yang mereka puja.

Karena berstatus sebagai istri Jay, aku jadi harus ikut terseret arus ini. Mau tak mau aku sudah siap dan terbiasa. Anehnya, tidak pernah ada berita buruk tentang Jay yang tersebar luas, seolah semua keburukan Jay tidak ada, hanya angin lewat yang bertiup di musim panas.

Setelah satu jam lebih sebelas menit, Jay pamit membawaku pergi dari perkumpulan para tamu Ibunya dengan alasan ingin mengantarku pulang dan makan siang bersama di rumah.

“Aku lebih suka makan siang berdua saja dengan istriku jika ada kesempatan seperti ini,” kata Jay, saat Nyonya Plum sempat mencegah kami pergi dari sana.

Bu Vivian terlihat tidak berniat untuk mencegah kami. Justru dia menegur Nyonya Plum untuk segera memiliki menantu cantik dan baik sepertiku, agar Anaknya—Vicky—juga bisa makan siang bersama seseorang yang dicintai.

Saat tiba di parkiran dan suasana sepi, aku langsung melepas tanganku yang mengamit lengan Jay.

“Cantik dan baik,” cetus Jay, terbahak. Aku tahu dia menyindir, sebentar lagi dia akan kembali menghinaku.

“Itu artinya kau tidak menghargai pendapat Ibumu,” sahutku sembari sibuk mencari ponsel di tas. Aku tahu sejak tadi pasti Neil mengirimi pesan seperti biasa. Percakapan via chat yang hangat di sepanjang hari.

“Tidak begitu. Aku hanya merasa lucu saat kita selalu berhasil menipu orang-orang. Terutama keluarga besar kita.”

Setelah ponsel kudapatkan, aku menatap Jay yang berdiri di depan mobil, melipat kedua tangan di depan dada sambil mengawasiku. “Jika memang bisa, sesuai apa katamu setahun lalu, kita bercerai dengan saling meyakinkan Kakek masing-masing tentang pernikahan yang gagal ini.”

Jay menggeleng, “Tidak semudah itu.”

“Aku tahu, tapi jika bisa diusahakan, kenapa tidak kita coba. Kau dan aku tidak akan pernah tahu batas umur seseorang. Bisa jadi, aku akan mati lebih dulu dari keduanya sebelum sempat bahagia.”

𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang