Chapter 16

470 40 0
                                    

“Dirimu.”

Kutatap Jay dengan perasaan tidak menentu dalam hatiku. Tapi kupikir, aku memang tidak bisa menolak. Sama seperti sebelumnya. Tidak perlu berusaha terlalu keras, Jay bisa dengan mudah mendapatkanku.

Kali ini juga sama. Bayangan kegagalanku bersama Neil memang menjadi beban. Tapi entah kenapa, saat ingin melakukannya bersama Jay, aku seakan lupa sudah berapa banyak wanita yang ditiduri olehnya.

Mungkin kali ini, aku harus bertanya langsung pada Jay soal itu. Juga melupakan perkataanku pada Neil yang ingin berusaha untuk tidak melakukannya lagi dengan Jay.

Atau haruskah aku menolaknya? Hari ini, kesadaran cukup berada dipihakku. Aku belum begitu dikuasai hasrat menginginkan tubuh Jay yang berkulit eksotis ini untuk menindihku.

“Kau tidak menjawab.” Jay menggendongku, selagi aku terdiam sesaat tanpa bisa menatap matanya.

“Berapa banyak wanita yang sudah kau tiduri?” tanyaku saat Jay membaringkan tubuhku di ranjang yang permukaannya terasa cukup dingin.

“Hmm ... memangnya kau kuizinkan untuk bertanya?” Jay tertawa geli.

“Ya, kau diizinkan untuk tidak menjawab,” kataku, ketus. Berguling menjauh saat Jay berbaring di sisiku.

“Hei, mau kemana? Kau ingin bermain kejar-kejaran denganku?” Jay merangkak di atas ranjang, menangkapku dan memposisikan dirinya di atas tubuhku, seperti sebelumnya.

“Kau tidak perlu menjawab. Tapi pastikan bahwa kau tidak akan menularkan penyakit padaku karena ini atau aku akan membunuhmu,” kataku sembari mencekik leher Jay dengan kekuatan rendah.

Jay tertawa, mengangguk dengan penuh semangat. “Aku tahu, Ava. Aku sangat tahu apa yang sedang kulakukan. Bukan hanya kau saja yang penuh dengan perhitungan sebelum bertindak.” Jay menciumi bibirku, mengemutnya kemudian, sehingga aku tidak sempat membalas ucapannya.

Aku lelah, juga lapar, tapi semua itu seketika lenyap hanya karena tangan dan tubuh Jay yang menjamahku. Entah kenapa, Jay memberi banyak pengaruh menyenangkan di tubuhku.

Apakah itu karena Jay orang pertama yang menyentuhku? Hingga ketika Neil ingin mencoba setelahnya, justru aku gugup, takut, dan menolak secara tidak langsung.

Jika kuingat lagi, sungguh halus penolakanku pada Neil. Berkeringat, gugup, gelisah, dan tidak nyaman. Itu jelas lebih dari cukup untuk membuat Neil terluka karena penolakanku.

Sikapku tidak begitu terhadap Jay. Seperti sekarang, saat kami menyatu, aku merasa baik-baik saja, aman, dan nyaman.

Bahkan aku menjawab serta membalas dengan baik semua yang Jay berikan. Apa aku aneh?

“Jay, kenapa aku begini?” tanyaku sembari mencakar punggung Jay yang polos.

“Kenapa apanya?” Jay menatapku, tapi dia tidak berhenti sama sekali. Gerakannya tetap teratur dan menyenangkan.

“Kita saling membenci, bukan?”

Jay mengangkat kedua alisnya mendengar penuturanku dalam pertanyaan untuknya. Dia masih bergerak, belum berhenti, lalu mendekatkan wajahnya padaku. “Sepertinya, kurang lebih begitu.” Dia mengangguk, menjilati telingaku.

“Jay ....” Tidak sadar, tanganku sudah menggenggam rambut di kepala bagian belakang Jay. Merasakan itu dengan perasaan meledak-ledak di perutku.

“Ava ...” Jay berbisik, “kau hebat. Ayo ulangi sampai kau menyatakan kekalahanmu. Bagaimana?”

“Oh, ya ampun Jay, haruskah kita begini? Padahal kau tahu, kita saling membenci.” Aku berkata seakan marah pada diriku, karena nyatanya, aku menyukai apa yang Jay lakukan pada tubuhku.

“Kau yang terbaik, Ava.” Jay berbisik, mengecup keningku dan masih belum mengakhiri.

Benar, ini Jayden Martin dan aku. Kami tidak bisa membenci apa yang kami lakukan, dan tidak akan berhenti dengan cepat.

***

Kakek Hamlet mengulum senyum saat aku dan Jay duduk di meja makan, untuk sarapan bersama.

Aku tidak heran pada tatapannya yang tertuju ke leher Jay. Oh, ya ampun! Aku tidak sadar bahwa ini bukan di rumah kami. Betapa malunya aku karena Jay pun sengaja mempertontonkan lehernya yang penuh dengan tanda dari bibirku itu.

Ketika Jay pamit sebentar untuk menerima panggilan, Kakek Hamlet memiringkan sedikit tubuhnya ke arahku dan bertanya dengan setengah berbisik, “Ava, tampaknya kau hebat. Apa Jay tidak menyakitimu di atas ranjang?”

Dengan rasa malu yang tertahan, aku menggeleng pelan. “Tidak, Kek. Sama sekali tidak. Jay bersikap sangat hati-hati dan lembut padaku.”

“Oh, begitukah?” Kedua mata Kakek tampak berbinar. “Beritahu aku, berapa kali kalian sanggup melakukannya dalam semalam?”

Antara bingung, malu, dan lucu, aku mengalihkan wajahku dari tatapan Kakek dan menjawab dengan suara lirih, “Sekitar, empat—”

“Lima kali, Kek. Kami melakukannya lima kali hanya dalam waktu semalam,” sela Jay. Dia muncul sembari mengedip padaku yang mendongak menatapnya dengan wajah terkejut.

“Wah, wah ... kau kuat sekali, Jay.” Kakek Hamlet tertawa senang sambil mengacungkan ibu jarinya.

“Ava juga, Kek. Kami sama-sama kewalahan menghadapi satu sama lain.”

“Dan tidak ada yang menang?” Kakek penasaran, menatapku dan Jay bergantian.

Mereka berdua santai seolah sedang membicarakan pertandingan sepak bola yang berlangsung semalam dan tim mana yang memenangkan pertandingan.

“Jay pemenangnya, Kek.” Aku mengakhiri rasa penasaran Kakek dengan tawa dariku dan Jay.

Suami pertamaku ini memang luar biasa. Dan harus kuakui, diriku pun menjadi hebat karena Jay. Dia menuntunku semalam tanpa menunjukkan amarah seperti yang biasa dia tampakkan padaku, di luar kegiatan ranjang.

Ponselku bergetar hebat, menandakan ada panggilan masuk. Segera kuraih benda itu dari dalam tas yang terletak di atas kursi tepat di sampingku.

Neil!

Aku mencari tempat yang aman dan menemukan bawah tangga untuk menerima panggilan dari Neil.

“Halo, sayang.” Suara lembut Neil masih sama, santai. Sepertinya dia sama sekali tidak berubah.

“Ya, sayang. Bagaimana kabarmu? Kau di mana?” Karena khawatir juga merasa bersalah, aku cemas dan tidak dapat menyembunyikan itu dari Neil.

“Aku baik-baik saja, Bia. Aku sudah di rumah. Dan masih di atas ranjang, merindukanmu.”

Perasaan bersalah semakin menghimpit diriku. Semalam aku bergulat dengan Jay dan Neil tidur sendirian di ranjangnya. Apakah itu adil untuk Neil?

“Kau membutuhkanku sekarang?” Setelah sepersekian detik terdiam, aku bertanya dengan lembut.

Terdengar tawa pelan dari Neil. “Tidak, sayang. Ini bukan bagian dari waktuku. Aku akan sabar menunggumu, Bia. Dua hari lagi, itu tidak masalah.”

“Neil ....”

“Jangan merasa bersalah. Ini sudah bagian dari risiko hubungan kita, bukan?” Bijaknya Neil menenangkan hatiku.

“Aku takut mengecewakanmu, Neil. Banyak hal yang terjadi di luar rencana.”

“Itu semua lepas dari kuasamu, sayang.”

“Neil, aku sungguh frustrasi mengingat betapa seringnya aku mengecewakanmu,” keluhku muram. Aku memeriksa keadaan dan melihat Jay seperti sedang mencariku, meski dia tidak memanggil namaku.

“Lupakan itu, sayang. Semua terjadi begitu saja. Aku percaya, akan ada waktu untuk kita berbahagia.”

“Sungguh kau percaya itu?”

“Tentu, aku percaya itu. Dan sama seperti aku yang selalu mempercayaimu.”

Jay muncul, dia hampir membuatku melompat karena terkejut. Kenapa dia bisa menemukanku di sini?

“Sudah selesai? Ayo, kuantar kau ke Vigor Food's.”

𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang