Chapter 22

489 42 0
                                    

“Itu akan jadi urusanku, Ava.” Jay santai bersandar di kepala ranjang. Dia baru saja mendengar keluhanku tentang Nathan.

“Kau yakin?” Tidak ragu untuk kemampuan Jay, tapi tak meyakinkan tentang kesungguhannya. Dia terlalu santai, tampak menyepelekan lawan.

“Jika tidak yakin, aku tak akan bersedia menerima risiko apapun, Ava.”

Diam, aku merasa harus tetap berusaha sendiri. Tipikal orang yang tak sabaran dan tidak terbiasa mengandalkan kekuatan orang lain, meski itu bantuan yang bisa kudapatkan dengan mudah dari Ayah dan Ibuku.

Ponselku berdering, itu pasti Neil. Aku lupa membalas pesannya karena terlalu fokus mengurusi cara menjauhkan Nathan dari segala rasa ingin tahunya padaku.

Menuruni ranjang dengan terburu, aku justru tersandung slipper dan jatuh dalam posisi terduduk.

Kudengar langkah kaki Jay terburu-buru mendekat, jadi aku menunggunya untuk menolongku berdiri. Saat melihat ke arahnya, aku justru mendapati kenyataan bahwa Jay meraih ponselku dan menjawab panggilan Neil.

“Hei, Jay!” Aku berteriak panik, berusaha bangkit sendiri. Apa yang kuharap darinya?

Jay tidak peduli, mulai bicara. “Ava sedang bersamaku. Kami baru selesai bercinta. Ini masih terlalu pagi. Hubungi dia nanti saja setelah waktu—”

“Jay, hentikan!” Aku menarik kaus tipis yang sudah dia kenakan kembali saat bangun tidur itu dengan kasar.

“Sudah selesai. Panggilan sudah kuakhiri.” Dia meletakkan ponselku kembali dengan santai di atas meja.

“Seingatku, aku sudah memperingatkanmu soal ini, Jay.” Wajahku menegang menahan marah.

“Ya, ya, aku ingat itu.” Jay berjalan kembali menuju ranjang. “Aku harus menjaga sikap saat kau sedang menerima panggilan, benar begitu bukan? Tapi yang tadi itu, kau tidak sedang bicara ditelepon, Ava.” Jay berbaring malas di ranjang.

“Kau bertindak sesuka hatimu. Harusnya kuubah banyak aturan di surat perjanjiannya,” gerutuku. Baru sadar bahwa aku lengah menghadapi Jay, terlalu santai.

Kulemparkan bantal milikku dengan kasar ke arahnya. Mengaduh, Jay merangkak di permukaan ranjang, menarik lenganku yang berdiri di samping tempat tidur.

Aku terjatuh tepat menimpa tubuh Jay. Merubah posisi, Jay menindihku. Dia menggelitikiku sembari tertawa. “Nah, kena kau!”

Suara bel dari arah depan menghentikan setengah aksi Jay. Tapi kemudian, Jay tetap menindihku bermaksud lain selain dari menggelitik. Aku tidak melawan karena tahu dia tetap akan segera berhenti untuk membuka pintu.

Tapi bel kembali berbunyi nyaring. Jay seketika mengernyit dan berdecak kesal untuk turun dari ranjang, bersungut-sungut sampai lupa menutup pintu.

Bukan hanya Jay yang heran akan kedatangan tamu di hari sepagi ini. Aku pun merasa perlu untuk melihat ke depan.

Kami bahkan belum membersihkan diri dari aroma yang berbaur jadi satu, juga aroma khas percintaan. Tapi Jay tanpa peduli sepertinya sudah dengan cepat berada di depan pintu. Dan aku baru saja keluar dari kamar, ketika mendengar suara melengking menembus hingga ke ruang keluarga.

“Jayden, kenapa tidak menjawab panggilan dan membalas pesanku?” Suara wanita. Pasti itu salah satu jalangnya Jay.

Apa dia tuli? Berulang kali kuingatkan untuk tidak membiarkan jalangnya mendatangi rumah karena dapat menimbulkan kegaduhan juga kecurigaan banyak pihak.

𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang