Chapter 10

583 51 1
                                    

“Mau kuantar?”

Aku melirik sekilas pada Jay yang berdiri dengan ponsel di tangan, di ambang pintu kamarku. Aku kembali lagi ke sini setelah tadi sudah berada di dalam mobil—siap berangkat—karena lupa membawa kotak berisi cincin pernikahan kami, aku dan Neil tentunya.

Sial!

Bisa-bisanya benda itu tidak ada di laciku. Aku ingat semalam masih memandanginya sebelum tidur. Tapi lupa apa yang terjadi setelah itu.

“Bisa bantu aku mencari kotak cincinku?”

Jay tiba dengan cepat sebelum aku sempat mendengar jawabannya. Sekarang dia sedang memeriksa bagian bawah ranjang, lalu beralih menuju lemari pakaianku.

Aku juga melakukan hal yang sama di sampingnya.

“Kotak dengan warna apa?”

“Hitam beledu.”

Beberapa menit dia sibuk dengan isi lemari pakaianku.“Tidak ada,” katanya. Dan aku yang mematung menunggu, seketika panik.

“Jay, bagaimana ini?” Spontan aku malah bertanya pada pria yang setelah hari ini, sudah siap menerima pembagian waktu dengan Neil.

“Masalah cincin bukan perkara serius. Jika terus sibuk mencari, kau bisa tertinggal pesawat. Lebih baik kalian membeli cincin yang lain setelah acara selesai.” Jay berdiri santai bersandar di depan pintu lemari pakaianku.

Aku hampir saja menjambak half up do yang kutata sendiri sejak satu jam yang lalu, ketika sadar bahwa aku memang bisa terlambat.

Dengan berbagai kegaduhan yang kuciptakan, menolak diantar Jay ke bandara, dan memilih taksi sebagai pilihan. Akhirnya, aku dapat bernapas lega.

Saat ini, aku duduk di kursi penumpang pesawat dengan perasaan tenang yang kurasa hanya akan berlangsung sesaat.

***

“Maaf atas cincinnya dan terima kasih kau menggantinya dengan yang baru, tepat waktu.” Aku mencium kening Neil, saat kami sudah ada di penginapan kecil bertempat di desa terpencil seperti rencana sebelumnya.

Ini bulan madu!

“Hei, kita terlambat hampir tiga puluh menit, ingat?” Neil tertawa. Kebahagiaan begitu terpancar nyata dari wajahnya. Penantian yang membuahkan hasil.

“Ah, anggap saja tidak begitu. Semua benar-benar lancar sampai kita tiba di sini, bukan?” Aku memeluk Neil erat-erat, ini janji dalam hatiku kemarin. Sekarang sudah terlaksana.

Ketika jemari Neil menyusup ke balik kaus longgarku, aku teringat bahwa tanda-tanda bekas ciuman rakus yang diberikan Jay masih belum menghilang.

Kutahan lengan Neil ketika dia ingin menarik kausku. “Sayang, sebentar ...” Kuraih tangannya dari kegiatan itu, kutatap Neil lekat-lekat saat wajahnya mendadak tampak bertanya-tanya, “aku ingin mengatakan sesuatu.”

“Hem. Katakanlah.” Neil mengukir senyum.

“Pernahkah aku menceritakannya padamu?”

“Tentang apa?”

“Tentang aku dan Jay yang tidak pernah sekalipun selama pernikahan kami, berhubungan layaknya suami istri.”

Neil mengernyit untuk mengingat. Lalu dia mengangguk, “Ya, aku ingat kau pernah menceritakannya di minggu ke lima hubungan kita.”

“Itu ... Neil, maafkan aku, hal itu sudah berubah. Aku dan Jay, sudah melakukannya. Aku sungguh ....” Tidak ada kalimat lain yang bisa mewakili perasaanku.

𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang