Chapter 20

453 38 0
                                    

Aku baru akan mengambil tas dan menghampiri Kakek Hamlet, saat mataku melihat Nathan sedang berbisik pada Kakek dan mereka berdua segera berbalik untuk melihatku.

Seperti tersengat listrik bukan di saat tengah bercinta, kedua kakiku lemas, kembali duduk bersama tas di atas pangkuanku.

“Ava!”

Aku mendongak dengan wajah terkejut saat melihat Kakek Hamlet sudah hampir mencapai meja dan mengernyit memandangku. “Aku terus memanggilmu, apa kau tidak mendengarku?”

“Oh, maafkan aku, Kakek. Aku sedang memikirkan sesuatu.” Gugup, aku melihat Nathan mengikuti Kakek Hamlet berjalan dari arah belakangnya.

Apa Nathan berniat membongkarnya di depanku dan Kakek Hamlet? Begitukah cara dia memperlakukan orang lain? Aku istri Kakaknya. Tidak bisakah aku memberitahunya soal itu?

“Kau memikirkan Jay?” Kakek duduk di sisiku, dan Nathan menarik keluar kursi di seberangku.

“Itu ... iya, Kek.” Aku berbohong. Tapi jujur, sedikit penasaran kemana si berengsek itu pergi tanpa ingin mencari tahu.

“Jay mendapat panggilan dari Ibunya. Sepertinya terjadi sesuatu.”

Dengan terkejut aku bertanya, “Apa terjadi sesuatu pada Ibu? Kenapa Jay tidak memberitahuku?”

“Sudah. Tadi Jay sempat mencarimu dan tidak menemukan kau di manapun. Coba periksa ponselmu, kata Jay tadi, kau tidak bisa dihubungi.”

Secepat yang kubisa, aku mengacak isi tas dan melihat ponselku yang kehabisan daya. Belakangan, ponselku terlalu sering mati dengan cepat tanpa kusadari. Ini sudah pasti  menandakan aku harus menggantinya dengan yang baru.

“Ya, ampun. Jay benar, Kek. Ponselku mati.” Serius, aku cemas sekarang. Bukan Jay yang kukhawatirkan, tapi Bu Vivian. “Apa Kakek tidak tahu apa yang terjadi pada Ibu?”

“Jay terburu-buru pergi. Dia meminta Kakek untuk tetap di sini karena ada kau yang belum kembali.” Kakek tersenyum ke arah Nathan yang terlihat ikut mendengarkan kami. “Nathan, kau ingin bertanya soal bisnis makanan dan minuman, bukan? Ini Ava, istri cucuku, dia pengurus semua gerai Vigor Food's. Kau bisa tanya apa saja padanya.”

Aku hanya tersenyum canggung pada Kakek. Bukan bermaksud lancang, tapi saat ini tidak tepat untuk itu. “Maaf Kakek, aku harus pergi sekarang. Mungkin Jay membutuhkanku. Aku juga khawatir pada Ibu. Aku permisi, Kek.” Beranjak dari kursi, aku menunduk hormat pada Kakek yang tampak tidak peduli. “Kakek tidak masalah kembali ke rumah seorang diri?”

“Tidak apa-apa. Tadi Jay pulang menggunakan taksi. Jika kau butuh mobil, aku akan minta sopirku untuk mengantarkanmu ke rumah Kendrick.”

“Tidak apa-apa, Kek. Aku bisa menggunakan taksi juga. Selamat malam, Kek. Aku pergi dulu.”

Mengherankan. Bu Vivian menantunya, dan saat ini sedang terjadi sesuatu pada Ibu dari cucunya, kenapa Pak Tua itu santai sekali? Aku selalu melihat mereka serasi satu sama lain. Ayah dan Ibu mertua, juga Kakek. Mereka tampak akur. Selalu begitu setiap kali aku melihatnya.

***

Suara pecahan kaca, teriakan, bentakan, bahkan tangis bercampur menjadi satu. Aku cemas dan sedikit bergetar dengan pencahayaan yang kurang dari semua ruangan besar rumah mertuaku. Suara Bu Vivian menembus ruang tamu.

Suguhan pertama yang kudapat ketika menginjakkan kaki ke rumah ini. Pintu terbuka begitu saja. Tidak ada pelayan yang biasanya menyambutku ketika sesekali aku datang berkunjung ke sini.

“Bu, sudah, hentikan!” Itu suara Jay. Dia terdengar seperti memohon dengan suara parau.

Aku merapat ke dinding, coba mengintip dengan hati-hati dari sisi dinding ambang pintu.

𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang