Chapter 8

729 54 0
                                    

Aku bergeser pelan, tanpa suara bentakan atau hardikan untuk Jay. Aku benar-benar merasakan kecanggungan sentuhan serius darinya.

Perlu diingat, kami hampir tidak pernah menjurus ke arah berbau seksual, selain dari kontak fisik untuk saling menolak, atau keberatan terhadap sesuatu.

Bahkan saat dia masuk ke kamar mandi di saat aku sedang berendam dibalik busa, kami sama sekali tidak saling tertarik untuk melakukan hal yang lebih dari itu.

Untuk menanggapi Jay, aku melakukan hal seperti menendangnya jika dia masuk tanpa izin ke kamarku, terbiasa menepis tangannya saat dia menghalangi jalanku, atau menepuk pundaknya jika ingin membangunkan dia yang tertidur di ruang keluarga.

Hal-hal seperti itu dan sama sekali tidak pernah menimbulkan hasrat apapun di antara kami. Itu aneh? Tidak juga. Jay jarang pulang dan lebih sering membawa jalangnya ke sini. Meski belakangan sudah cukup jarang terjadi, tapi itu tidak memudarkan penilaianku tentangnya yang maniak seks, sering main gila di luar itu mengerikan bagiku. Pendapatku tentangnya selalu buruk. Dia tidak lebih baik dari Neil. Perbedaan yang jauh, tentu saja.

Tapi jika Jay ingin, dia bisa menikah lagi dengan wanita yang benar-benar dicintainya. Sama sepertiku, akan kubantu Jay seperti halnya dia mendukungku, walaupun awalnya tidak mudah bagiku untuk memaksanya setuju.

Saat ini, Jay tidak juga melepas bibirnya dari leherku. Oh, tidak, dia menghisap leherku! Itu akan jadi jejak pulau mengerikan esok hari. Dengan cemas, aku menekan punggungnya dengan kuku-kuku jariku yang tak panjang sama sekali, ini membuatku frustrasi jika bertemu Neil dengan tanda hisapan di leher.

Kepercayaan Neil akan memudar bukan padaku, tapi pada pernikahan kami yang hanya tinggal menghitung hari. Aku cemas, menepuk pundak Jay agar dia berhenti. Memberi isyarat dengan gerakan lebih baik daripada harus bicara karena Nyonya Ravia Vigor, Ibuku yang senang ikut campur itu pasti bisa mendengar dengan telinganya yang tajam di kamar sebelah.

Jay mendongak, aku lega, meski ada rasa menyenangkan yang mendadak lenyap, hilang tanpa bekas. Kupikir dia akan berpindah posisi untuk menjauhiku, tapi justru yang kutunggu tidak kunjung terjadi dan Jay lebih memilih untuk mencium bibirku, menahan kedua tanganku yang bisa ditangkap dengan mudah. Sekarang dia mencengkeram kedua pergelangan di atas kepalaku.

Tapi bibirnya tidak lepas dariku. Apa-apaan ini? Kenapa aku bahkan memberi balasan ciuman yang terasa dalam ini? Sembari ciuman kami terjadi, aku bisa melihat, suami berengsekku ini tersenyum.

Jay menang, dia tahu itu!

Neil dan aku sering berciuman, tapi tidak begini. Jay terlalu mahir untuk bisa membuatku ketagihan hanya dalam hitungan detik. Perlakuan yang tampak beda di tubuhku, juga reaksi berlebihan yang aku sendiri merasa tak percaya, kini tengah terjadi.

Semakin lama, semakin ingin aku melawan lebih jauh. Jay tidak membiarkanku, dia sama sekali tidak memberi ampun padaku yang mulai terengah. Aku mengerang untuk dua hal, tidak terima pada reaksi tubuhku, dan menikmati rasa yang untuk pertama kali kudapatkan dari suamiku selama dua tahun yang dingin, kaku, juga tidak nyaman.

Aku bingung ketika suara napas Jay benar-benar sayang untuk tidak didengar. Hanya suara napas, tapi begitu menggoda. Bahkan bibir yang sering mengumpat dan membentakku ini, begitu lihai bergerak hingga ke bagian bawah tubuhku.

Sudahlah, aku tidak akan bisa menolak. Tapi, bukankah aku mampu jika aku bersungguh-sungguh melawan? Baiklah, aku tidak bisa menyerahkan diriku pada Jay meski dia suamiku. Aku ingin memberikan hal ini sebagai kado pernikahan untuk Neil. Diriku seutuhnya.

𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang