Chapter 12

531 37 0
                                    

“Kau ragu padaku?” Giliranku yang tertawa.

“Tidak, bukan begitu, Bia. Ini tidak semudah yang kau pikirkan.”

“Aku tahu. Tapi daripada menunggu dengan tidak pasti begini, bukankah sebaiknya kita berusaha dulu sebelum menyerah?”

Setelah menghela napas dan menggeleng-geleng kepala seperti tidak habis pikir, Neil memutuskan untuk setuju pergi kebelakang penginapan guna mencari kandang hewan ternak bersamaku.

Di sisi kanan tidak ada jalan atau lahan kosong, karena ada sebuah penatu yang dindingnya langsung menempel di bagian kanan bangunan penginapan.

Jalan satu-satunya menuju ke belakang hanya melalui lahan di sebelah kiri yang cukup untuk dilewati beberapa orang ini.

Sebenarnya, kami bisa saja ke belakang melewati dapur, tapi menurut Neil, tidak ada pintu keluar di dapur pemilik penginapan, hanya ada beberapa jendela. Itupun tidak dibuka.

Neil sudah tahu itu karena sore tadi sempat memesan dan mengambil sendiri makanan dari dapur.

“Pemilik penginapan seperti kekurangan tenaga pekerja. Dia melakukan semuanya seorang diri.”

“Tapi bukannya ada seorang wanita lagi di meja resepsionis?” kataku, mencoba mengingat ketika kami tiba ke sini siang tadi.

“Oh, entahlah. Kupikir mereka orang yang sama ...” Neil berhenti, menoleh ke kiri, “bukannya itu Trisa?”

Aku bergerak ke arah kiri, sedikit berjinjit untuk melihat melewati pagar yang memisahkan penginapan dengan sebuah rumah, itu rumah Trisa.

Trisa berjongkok di depan sepedanya di teras rumah, tampak memeriksa setiap bagian dengan teliti.

“Trisa! Kau sedang apa di luar? Kenapa belum tidur sudah selarut ini? Apa kau dimarahi Ibumu?” Aku membanjirinya dengan pertanyaan.

Langsung terkejut, Trisa berdiri untuk melihat ke arahku. “Aku tidak bisa tidur. Ibu tidak ada di rumah, jadi aku menunggunya pulang sambil memeriksa sepedaku,” jelasnya. Kantuk tergambar di wajah bulat mungilnya.

Aku dan Neil segera menghampiri Trisa yang tampak kedinginan dengan pakaian tipisnya tadi.

“Ibumu ke mana, Trisa?” tanya Neil. Dia memperhatikan sekeliling rumah Trisa.

“Ibu dan Bibi pergi menjemput Ayah yang mengalami kecelakaan kerja di kota. Mereka sudah pergi sejak sore, tapi belum kembali sampai saat ini.” Kedua mata Trisa mulai berkabut. Gadis kecil ini sedang menahan tangisnya.

“Apa tidak ada anggota keluarga yang lain seperti Paman, Kakek, atau Nenekmu di sini?” Neil meraih tangan Trisa, menggenggamnya dengan lembut, seolah mengalirkan kehangatan.

“Tidak ada. Kami cuma tinggal bertiga. Ayah hanya akan pulang sesekali.”

“Apa kau hafal nomor ponsel Ibumu?”

“Ibu tidak memiliki ponsel.”

“Kalau begitu, Bibimu?” Neil gantian bertanya.

“Aku tidak ingat,” keluh Trisa.

“Apa tidak ada telepon di dalam rumah?” Neil tampak tidak putus asa.

Trisa menggeleng. “Hanya ada satu di penginapan. Tapi selalu dikunci oleh Bibi jika dia tidak ada.”

“Apa Bibi yang kau maksud itu pemilik penginapan?”

𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang