“Aku menginginkanya lagi.” Bisikan serupa angin dingin berhembus di telingaku, ketika pertama kali membuka kedua mata.
Kesadaran paling penuh yang kulewati semalaman memang hampir tidak ada. Tapi aku ingat bagaimana kami melakukannya berulang kali seolah tanpa ampun, apalagi jeda.
“Hmm?” Pura-pura bodoh, aku meraba-raba meja samping untuk mencari ponsel.
“Kau kehabisan daya di ponsel-mu, jadi aku mengisinya,” kata Jay. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia menunjuk ke meja kecil tempat biasa aku meletakkan ponsel jika sedang disi daya baterai.
Membulatkan bibir, aku mengangguk mengerti dalam kecanggungan yang tampak seperti hanya aku seorang yang mengalaminya.
Jay bertingkah santai menopang kepalanya di atas telapak tangan, seolah menggoda dengan posisi berbaring miring menghadap ke arahku. “Tidak bisakah kau mengabulkan keinginanku?”
Mendadak kikuk, aku berdeham. “Aku ... aku harus pergi memeriksa tempat untuk besok.” Menyibak selimut, aku hampir terpekik karena tidak ada gaun tidur yang menutupi tubuhku sebelum ‘perang’ semalam. Aku lupa! Memalukan sekali.
Dengan gerak cepat, kutarik selimut sampai batas di atas dada, membiarkan kedua pundakku tetap terlihat. Mau bagaimana lagi? Dia sudah melihat semuanya. Bahkan aku pun juga melihat hal yang sama pada diri Jay. Kepolosan tubuh satu sama lain.
Kulit yang tertutupi pakaian ternyata memang lebih putih dan halus, juga terawat. Sepertinya Jay pintar untuk urusan itu. Maksudku, dia tampak seperti seseorang yang menjaga kesehatan juga kebersihan kulit bagian yang selalu tertutup dari luar.
“Ponsel-mu sepertinya masih mengisi sekitar empat puluh persen. Sisa enam puluh persen lagi untuk menunggu sampai baterainya penuh. Jadi ayo ...” Jay mengangkat selimut bagian yang menutupi tubuhku, dia mendekat dengan benda penutup diri kami itu di atas kepalanya, “sekali atau dua kali saja. Sejak awal tubuhmu merespon dengan sangat baik, Ava.”
Terhasut cepat, aku kembali mengikuti alur yang dibawakan Jay. Melupakan Neil yang terbaring sakit dan janji temu dengan pemilik gedung acara. Ah, luar biasa memang. Aku tidak ingat untuk berpijak dan memilih terbang tinggi, tanpa berniat turun kembali ke tempat asalku. Jay membuatku lupa segalanya.
***
“Maaf, Pak, aku benar-benar minta maaf,” kataku dengan nada lemah. Tubuh ini benar-benar kehabisan tenaga dan terasa sakit di bagian tertentu. Bahkan sulit untuk memastikan kedua kakiku bisa menopang tubuh dengan benar saat ini. Kacau!
Pemilik gedung hanya tersenyum mengerti. Mungkin dia urung marah, karena aku sudah lebih dulu mentransfer uang penyewaan gedung dua kali lipat dari harga tarif normalnya.
Itu tanda permintaan maaf dariku karena membatalkan janji temu hampir setengah hari. Ini sudah pukul lima sore dan aku bahkan melupakan ponsel di kamarku.
Gara-gara Jay? Ya, meski tidak sepenuhnya. Kuletakkan persentase kesalahan tujuh puluh persen padanya dan tiga puluh persen untukku.
Bagaimana bisa dia begitu kuat? Aku kewalahan dan hampir kehabisan napas. Jay benar-benar gila untuk urusan ranjang. Dan bodohnya, aku ketagihan di bawah kuasa tubuh Jay.
“Jadi tidak akan ada tamu?” tanya pemilik gedung, heran.
“Tidak, Pak. Kebetulan hanya akan ada kami berdua saja.” Aku tersenyum, yakin bahwa kantung mataku sudah tercetak jelas di tempatnya.
Pria kisaran umur lima puluhan itu mengangguk, tampak tidak terlalu peduli pada apa yang menjadi jawabanku.
Setengah mendengar dan tidak, akhirnya aku keluar dari kantor pemilik gedung dengan isi pikiran yang kacau. Akan kuanggap semua persiapan selesai.
Aku malah tidak ingat poin-poin penting untuk semua yang telah dipersiapkan oleh pemilik gedung. Ah, mungkin tak apa.
Lagipula, yang terpenting di hari esok itu acara pernikahan yang sakral. Di luar dari itu, tentu saja hanya hal-hal remeh yang seharusnya, memang tidak perlu kupikirkan, apalagi sampai cemas berlebihan seperti sekarang.
Menjelang hari pernikahan, aku justru berada dalam beban pikiran dan kecemasan yang tidak menentu. Sangat berbeda keadaannya saat pernikahanku dengan Jay.
Waktu itu, aku tidak mengalami kecemasan, bingung, khawatir berlebih, atau kurang tidur. Semuanya benar baik-baik saja.
Mungkin sekarang aku tahu jawabannya. Dulu, tidak ada hal-hal yang membuatku takut karena orang yang kunikahi bukan pria yang kuinginkan. Begitu juga sebaliknya. Jadi kami bisa tetap bersikap santai, tenang, dan wajar ketika sebelum acara dan pernikahannya berlangsung.
Aku sudah berada di lantai dasar dan terkejut ketika melihat Neil melambai padaku. Oh, apa dia sudah sembuh? Kenapa tiba-tiba menyusul?
“Hai, sayangku.” Suara ketika hidungnya tersumbat flu, terdengar mengkhawatirkan untukku.
“Hai, sayang. Kenapa kau kemari? Apa kau baik-baik saja di cuaca sedingin ini?” Cemas, aku hanya bisa menatapnya lekat-lekat.
Sungguh, kami tidak bisa saling memberi kehangatan di tempat umum. Aku cukup terkenal di beberapa daerah di kota Madeline. Tapi mungkin akan asing bagi orang di kota kecil terkesan mati seperti tempat ini.
Harus ada yang berjaga-jaga meski kemungkinan dikenali itu hanya lima persen. Aku memegang prinsip ini. Aku istri dan pasangan panutan dari seorang Jayden Martin. Banyak orang yang pasti menghafal wajahku.
Meski untuk urusan pekerjaan aku terbiasa berhubungan dengan lawan jenis, tetap saja cara pandangku terhadap Neil berbeda. Dan itu bisa menimbulkan kecurigaan dari berbagai kalangan. Aku takut mengacaukan hidup Cedric Neil Harrison yang kupuja dan kucintai.
Kota ini benar-benar kecil dan tenang. Dengan penduduk yang berkurang karena hampir setengahnya memutuskan untuk merantau ke kota Madeline. Sekitar lebih dari enam jam perjalanan ke daerah ini jika menggunakan jalur darat. Dan satu jam lebih menggunakan jalur udara.
Tapi aku dan Neil akan membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit lagi menuju ke daerah terpencil, untuk berbulan madu setelah pesta pernikahan kami yang sepi itu selesai.
Benar, bahkan ada tempat yang lebih sepi dan terpencil lagi dari kota ini. Aku merasa sedikit aman dan tenang karena Neil merekomendasikan tempat-tempat nyaman untukku, untuk kami.
“Aku baik-baik saja. Tenanglah, sayang.” Dia menepuk pelan pundakku, tampak memperhatikan dengan seksama.
Merasa tidak enak hati, aku bersalah karena menutupi bekas percintaanku dan Jay darinya. Sebelum pergi, aku melihat banyak bekas ciuman rakus Jay di beberapa tempat.
Leher, dada dan bagian atasnya, perut, paha, dan hampir sekujur tubuhku. Beruntung bagian bawah telingaku tidak diberi tanda, hanya berulang ditiup lembut oleh Jay saat kami melakukannya.
“Bia, kau terlihat pucat. Ada apa? Kau sakit?” Kekhawatiran Neil semakin membuatku merasa bersalah.
“Tidak. Aku hanya kurang tidur karena terlalu gugup, Neil.” Aku berbohong, tapi tidak bisa tersenyum untuknya. Sesekali tanganku menyentuh ujung turtleneck bagian atasku dengan resah, menariknya semakin ke atas hampir menyentuh dagu bagian bawah.
“Kalau begitu ayo kita cari tempat untuk beristirahat. Kau harus tidur—”
“Tidak, sayang. Jangan. Aku ingin kita langsung pulang saja. Aku butuh persiapan untuk besok.” Aku berbohong lagi dengan memegangi lengan Neil agar menuruti keinginanku.
“Tapi kau tampak lelah, sayang. Kita butuh, setidaknya duduk tenang sambil minum teh. Bagaimana?” Senyum penuh kelembutan tersungging manis di bibirnya. Aku segera luluh dan tidak dapat berkata apa pun.
Aku janji akan memeluknya dengan erat besok. Setelah acara pernikahan kami selesai. Membahagiakannya yang sudah cukup berkorban dan menunggu untuk pengakuan secara tertulis sebagai seorang pendamping yang sah untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐃𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡 𝐭𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐀𝐯𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐉𝐚𝐲 𝐬𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐢𝐚𝐬𝐚. 𝐀𝐯𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐢𝐤𝐞𝐫𝐚𝐬 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐉𝐚𝐲 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐦𝐚𝐢𝐧-𝐦𝐚𝐢𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠...