Chapter 18

456 40 0
                                    

Aku menoleh untuk mendelik marah pada Jay di sampingku. “Urus saja urusanmu, Jay.” Aku menggeram sembari berbisik.

Kebetulan sekali Kakek Hamlet sedang pergi menyapa para tamu lain di meja belakang. Sepertinya, ada banyak teman-temannya yang hadir di acara ini.

Acara dimulai dengan makan malam yang diiringi alunan musik klasik, dari sepasang penyanyi yang melagukannya begitu merdu di sudut ruangan.

Mungkin mereka memang sepasang kekasih, karena kemesraan keduanya begitu terlihat wajar dan alami.

Sesekali, aku tahu Neil melihat dan tersenyum lembut ke arahku. Bahkan, aku sampai salah tingkah dibuatnya. Beruntung, Kakek hanya fokus pada makanan di hadapannya dan Jay.

Jeda sepuluh menit setelah makan malam yang mengenyangkan, Jay dengan berengseknya menghalangiku untuk curi-curi pandang ke arah Neil, dengan mengajak berdansa.

Kakek Hamlet yang bersemangat, justru melarangku menolak keinginan Jay.

Dengan senyum terpaksa yang disadari Jay, aku berbisik saat akhirnya kami sudah berada di lantai dansa. “Kau ini memang berengsek, Jay!” Aku menggerutu. Tidak berani menoleh ke samping kananku, tempat keluarga Harrison berkumpul.

Jay tertawa pelan, semakin merapatkan tubuh kami berdua. “Apalagi kali ini?”

Aku berdecak malas, berusaha untuk menjaga jarak sedikit jauh dari pasangan dansa lainnya. Aku tidak ingin ada yang mendengar perdebatan panjang kami.

Benar, ini akan menjadi perdebatan panjang mengingat aku sudah mulai kesal padanya sejak sore tadi.

“Kenapa kau sengaja mengambil posisi di dekat meja keluarga Neil?”

“Oh, itu? Aku memang sengaja. Mungkin, bisa jadi dia memiliki keberanian karena hal ini.”

“Apa maksudmu?”

“Ini pancingan, Ava. Ayo kita lihat, apakah dia berani memintamu untuk menemaninya berdansa setelah ini?” Jay si kurang ajar, menyeringai sekilas setelah akhirnya tersenyum manis.

“Hei, jangan gila! Meski itu mungkin wajar saja terjadi, aku tidak ingin membuat masalah baru. Ayo, hentikan! Kakiku sakit.”

“Jangan manja, Ava sayang. Kau terlalu kuat untuk mengeluh.” Jay mengusap-usap punggungku.

Padahal sungguh, kakiku sakit. Ini sepatu yang asal kupesan untuk kukenakan malam ini. Tidak nyaman seperti koleksi sepatuku di rumah.

Sejam sebelum pergi tadi, aku meminta Andara—salah satu karyawanku—untuk membawakan cutaway arch shoes yang asal kupilih, ketika dia meminta pendapatku di telepon saat berada di toko sepatu.

Dan hasilnya, kakiku terlalu sakit jika digunakan untuk berdansa terus menerus.

Ketika kami kembali duduk, kuperhatikan, justru Nathan yang menatapku tanpa berkedip. Seingatku, kami tidak saling mengenal.

Aku hanya tahu cerita tentang diri Nathan. Dia Adik yang keras kepala, banyak bicara, dan pintar. Itu kata Neil. Tidak mungkin Neil menceritakan statusku sebagai istrinya pada Nathan, bukan?

Tapi menurutku, mereka tidak begitu mirip, hanya sekilas lalu, itu jika kutatap sedikit lebih lama.

Kedua orang tua mereka sering melakukan perjalanan keluar negeri. Bukan perjalanan bisnis, tapi aku tidak begitu tahu untuk apa.

Kami jarang membicarakan tentang kedua orang tua Neil. Dia tampak tidak menyukai pembahasan tentang itu, jadi untuk menghargainya, aku juga tidak merasa perlu mencari tahu.

𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang