Jay memilih untuk berendam dalam jarak sedekat mungkin denganku. Aku diposisikan Jay di atas pangkuannya. Entah mungkin karena sedang dalam suasana hati yang sedih, aku tidak menolak sama sekali.
Kurasa tidak masalah. Dia suamiku. Tidak ada yang salah dengan mandi bersama. Lagipula, ini pertama kalinya setelah dua tahun berlalu begitu saja di antara kami.
“Ibu menikah dengan Ayah, karena Ayah menghamili Ibu.” Jay bicara tanpa kuminta.
Menyembunyikan keterkejutan akan fakta tidak sesuai dengan apa yang kulihat selama ini, aku hanya menggerakkan jari telunjuk untuk membuat garis lurus di sepanjang lengan kanan Jay yang tidak terendam air.
“Tapi bayi itu bukan aku. Kakakku yang gugur di usia kehamilan enam minggu. Aku ada setelah dua tahun berlalu.” Jay terdiam. Dia memegangi pergelangan tanganku yang masih melukis garis di lengannya. Mungkin dia merasa geli.
Kulirik dia melewati bahu kiriku, tidak tampak tanda-tanda dia berhasrat meski kami sudah dalam keadaan tanpa pakaian, berendam di air hangat dalam posisi aku berada di pangkuannya. Mengingat Jay paling agresif untuk hal berbau seksualitas seperti ini, sepertinya, kejadian di rumah Ayah dan Ibu mertua cukup mempengaruhi suasana hatinya.
Ini bagus. Suasana seperti ini juga tidak kalah menyenangkan. Tenang, tanpa gangguan hasrat meledak-ledak satu sama lain.
Jay masih diam, tidak bergerak. Mungkin dia sedang melamunkan sesuatu. Hanya helaan napasnya saja yang terdengar melewati leher bagian belakangku.
“Cinta Ibu, sepertinya, hanya akan terus hidup untuk pria bernama James itu ...” Jay menghela napas lagi, “dan Ayah, akan tetap mencintai Ibu seumur hidupnya. Mencintai kekurangan Ibu, mengerti dirinya sepenuh hati meski terkadang Ayah tampak tidak lagi kuat menghadapi Ibu.”
Ingin bertanya. Pertanyaan di kepalaku juga begitu banyak, tapi aku ragu. Karena menurutku, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menanyakannya. Perlu jeda sedikit lebih lama lagi untuk mengajukan pertanyaan.
Merasakan lengan Jay melingkari perutku, ada sensasi menggelitik yang menyapu kulitku. Tidak hanya itu, Jay meletakkan dagunya di pundak kiriku. Rambut halus yang terasa bergesekan di kulitku, berasal dari sekitaran rahang dan dagu Jay.
Memiringkan wajahku ke kiri, menyatukan kepala kami, sedikit membawa kelegaan di hatiku. Entah kenapa, ini terasa menyenangkan. Berhasil membuat perasaanku membaik dari lelah dan rasa perih di kedua mata kaki dan ujung jariku akibat cutaway arc shoes sialan itu.
Kulipat kedua kakiku dan meraba setiap rasa perihnya yang memang membuatku meringis, tapi bisa kutahan bahkan tidak kupedulikan lagi sejak tadi di pesta ulang tahun Viona.
“Kakimu masih sakit?” Jay merabaku di bawah air, sepertinya mencari mata kaki dan ujung jariku.
“Auw! Kenapa kau menekan di bagian itu? Sakit, Jay.” Aku protes dengan melirik marah padanya.
Jay mengangkat kaki kiriku sedikit ke atas, keluar dari air. “Biar kulihat lebih jelas.”
“Jay, turunkan!” Aku memukul lengan Jay yang mencengkeram bagian belakang lututku. “Kau kan sudah melihatnya tadi.”
“Lalu kenapa? Kau malu, hmm?” Jay mulai menciumi pundak dan leherku yang lembab. “Sebaiknya gunakan plester untuk menutupinya, Ava. Memangnya itu tidak perih?” Perlahan, Jay menurunkan kakiku kembali ke dalam air.
“Tentu saja perih!”
“Kau menghilang bahkan sebelum aku sempat mencari plester untuk lukamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄
Romance𝟐𝟏+ 𝐀𝐫𝐞𝐚 𝐃𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡 𝐭𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐀𝐯𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐉𝐚𝐲 𝐬𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐢𝐚𝐬𝐚. 𝐀𝐯𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐢𝐤𝐞𝐫𝐚𝐬 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐉𝐚𝐲 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐦𝐚𝐢𝐧-𝐦𝐚𝐢𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠...