Chapter 7

747 49 2
                                    

“Fantasimu tentangku? Hei, apa kau memiliki hal itu di pikiranmu?” Jay tampak menahan diri di antara ingin mengejek dan menertawaiku.

“Bukan seperti yang kau pikirkan!” Kulempar bantal ke wajahnya.

Mengernyit marah, dia mengambil bantal yang jatuh di pangkuannya dan balik melempar tepat mengenai kepalaku.

Entah kapan dimulai, kami berdua mulai saling lempar bantal tanpa suara. Tiba-tiba Jay mendekat dan menindihku. Membuatku terkejut tapi tidak dapat melakukan apapun.

Jika aku berteriak atau mengumpat padanya, Ibu jelas akan bangun dan memarahiku. Sudah dapat kupastikan sejak awal menikah, Ibu lebih berpihak pada Jay daripada diriku putrinya sendiri.

Mungkin Ibu masih menganggap aku akan menyakiti hati Jay—si suami idaman—karena kami dijodohkan oleh para Kakek. Tampak jelas di mata serta sikapku yang menolak perjodohan kami waktu itu, dua tahun yang lalu. Aku yakin, Ibu mulai berasumsi sendiri tentang ketidaksukaanku pada Jay.

“Kita berpura-pura saja atau langsung melakukannya?” bisik Jay di telingaku. Sementara jari-jarinya menyusup di antara jemariku.

“Jangan berbuat bodoh! Memangnya kau pikir, aku mau ditiduri dengan pria sepertimu?” bisikku sembari menggertakkan gigi.

Jay menjauhkan wajahnya dariku. “Hei, apa yang salah denganku?” Tampak tersinggung, dia bicara sedikit keras.

Panik, aku membekap mulutnya dengan tanganku. “Pelankan suaramu, bodoh!”

“Jawab aku, Ava!” Menyingkirkan tanganku dengan kasar, dia tak peduli dan lebih memilih menunjukkan amarah di kedua matanya yang berkilat tajam padaku.

“Sudahlah. Lupakan saja. Ayo, tidur.” Rasa muak menghinggapiku. Aku sadar, sikap kasarnya selalu berhasil membuatku semakin membencinya.

“Tidak bisa,” cegat Jay. Dia menahan kedua pundakku yang ingin bangkit dari posisi berbaring, “jawab aku, atau aku akan menyakitimu sekarang.” Jay tidak asal bicara, dia mengancam sambil mencari ujung gaun tidurku untuk kemudian dia tarik ke atas.

“Hei!” Gerak refleks, aku menendang perutnya. Jay yang dekat dengan tepi ranjang seketika terjungkal dengan sempurna, dan suara gedebuk langsung menyalakan alarm di kepala Ibuku, pasti.

Jay mengaduh sembari memegangi perutnya. Aku melompat dari ranjang dan mendekati Jay dengan khawatir. Bukan pada keadaannya, tapi kemarahan Ibu.

Benar saja, suara ketukan dan panggilan Ibu benar-benar menghancurkan suasana hatiku yang kacau karena meninggalkan Neil tanpa diriku. Dia sendirian, aku merasa amat bersalah.

“Ava, Jay, buka pintunya! Apa yang terjadi?”

Masih belum puas, Ibu kembali memanggil nama lengkapku, itu penanda dia sedang marah dan akan selalu begitu padaku. Lagi dan lagi.“Ravabia Vigor! Jika kau tidak ingin membuka pintunya, beritahu padaku apa yang terjadi!”

Meninggalkan Jay dengan wajah kesal, aku menyeret langkah menuju pintu. Menemukan seorang Ibu yang sangat senang ikut campur urusan rumah tangga anaknya, sedang mengangkat tangan bersiap untuk mengetuk pintu kembali.

“Di mana Jay? Ibu mendengar suara yang cukup keras. Seperti seseorang yang jatuh. Apa itu Jay?” Ibu berjinjit untuk melihat cepat melewati bahuku.

“Iya. Dia terjatuh karena terlalu bersemangat.” Aku menjawab asal. Tujuannya tentu saja, agar Ibuku secepatnya bungkam.

“Terlalu bersemangat?” Ibu mengernyit. Sungguh, wajah Ibu tampak tak berdosa setelah dia baru saja mengatakan masalah ranjang kami yang seakan salah, hingga menyebabkan aku tidak kunjung hamil.

𝐀𝐌𝐁𝐈𝐕𝐀𝐋𝐄𝐍𝐂𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang