“Sudah mau tutup?”
Ashwa tidak menjawab. Dan restorannya bukanlah restoran yang buka dua puluh empat jam. Alan sudah tahu betul kalau jam sepuluh restoran ini pasti akan tutup.
Percaya atau tidak, Alan duduk di tempatnya dari pagi, pergi di sore hari, balik lagi sekitar setengah jam kemudian, dan terlihat sudah mengganti pakaiannya dengan dilapisi sweater, dan seenak jidatnya mengusir seseorang yang menduduki kursi kesukaannya. Ya, itulah Alan. Selalu bertingkah sesukanya.
Kini pria itu sudah berdiri dengan kedua tangan yang menyilang di bawah dada, bersandar pada body mobil mewahnya sambil memperhatikan Ashwa yang baru selesai mengunci pintu kaca restorannya.
Setelah Ashwa berjalan menjauh dari restoran tersebut dan hendak pergi ke arah jalan pulang, barulah Alan pun berdiri tegak dan menyusulnya berjalan.
Di awal-awal saat Ashwa baru mengenal Alan, ia sangat risih karena Alan selalu mengikutinya ketika pulang. Bahkan setiap hari Alan menawarkannya untuk diantar dengan kendaraannya, namun tentu Ashwa selalu menolak. Dan seperti kebiasaan sejak tiga bulan yang lalu, Ashwa pun sekarang berjalan pulang dengan Alan yang mengikutinya. Sekarang Ashwa tidak terlalu merasa risih karena Alan tidak pernah berperilaku jahat padanya. Bahkan Alan tak pernah berani lagi menyentuhnya karena Ashwa sudah memperingati.
Memang sudah tidak risih, namun Ashwa merasa kesal. Dia tahu kalau dengan Alan yang selalu mengantarnya —tanpa diminta— bisa jadi ladang dosa untuknya. Mau bagaimana pun, mereka bukan mahram, dan tidak boleh selalu berdua-duaan meski memang di jalan cukup ramai. Tapi kalau sudah memasuki gang menuju rumah Ashwa, tak jarang mereka hanya berdua saja.
Sudah berkali-kali Ashwa meminta pengertian Alan untuk tak lagi mengikutinya. Namun Alan tak pernah benar-benar mendengarkan. Sampai akhirnya Ashwa kelelahan memperingati Alan.
“Kenapa kamu gak mau dianter pake mobil saya? Padahal bisa lebih cepat dan aman.”
“Mobil Mas Alan gak akan muat masuk gang rumah saya.”
“Oh, jadi kalau muat, kamu mau?”
“Gak bakal muat!”
“Kan ada jalan lain.”
“Kejauhan.”
Alan tetap tak kehabisan akal. “Kalo mobil memang gak bakal muat masuk gang. Tapi kalo motor muat.”
“Terus?”
“Motor saya banyak. Besok saya pake motor.”
Ashwa mendengus. “Saya kan udah bilang, kita gak boleh deket-deket!”
“Ya terus kamu mau jalan setiap hari begini?”
“Ya memang kenapa? Rumah saya gak sampe 10km jauhnya dari restoran.”
“Kamu gak ngerti kata bahaya? Perempuan jalan malem-malem. Gak takut, hm?”
“Enggak. Saya bisa bela diri.”
“Tetep aja! Kekuatan laki-laki sama perempuan itu beda! Gimana kalo penjahatnya ada lebih dari satu?”
“Mas Alan kebanyakan nonton sinetron. Di sini mana ada orang jahat?!”
“Kamu kebanyakan nonton drama korea. Jadi kamu pikir semua laki-laki itu manis.”
Ashwa membantah pernyataan tersebut. “Enggak!”
“Enggak apa? Gak nonton drama korea atau gak manis?”
“Gak semuanya manis.”
“Jadi kamu nonton drama korea?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Ashwa [SELESAI]
RomanceROMANCE - COMEDY "Kenapa gitu? Cuma karena gak shalat subuh saya jadi gak bisa halalin kamu? Kalau gitu besok saya shalat subuh, terus ke sini lagi sekalian bawa penghulu." *** Bagaimana jadinya kalau kamu disukai dan dikejar-kejar oleh seorang peng...