20. Ancaman Ashwa

82.6K 7.5K 198
                                    

Kutunggu komen kalian ❤

***





Silaturahmi. Begitu katanya. Dan benar saja, Shaf datang dua hari kemudian, jam delapan malam dan memintanya untuk pulang lebih cepat ke rumah. Namun ternyata tujuannya bukan hanya silaturahmi, melainkan meminta Ashwa. Perlu diulang, Shaf meminta Ashwa dari Daud dan Linda. Bahasa lembutnya bisa dibilang meminta Ashwa untuk menjadi istrinya.

Beruntung Ashwa tidak pingsan kali ini. Ia hanya tidak habis pikir, apakah semua orang kaya yang jatuh cinta seperti ini? Langsung datang melamar ke rumah? Maaf kalau Ashwa harus bilang ini gila. Benar-benar gila. Ia bahkan baru mengenal Shaf kurang dari sebulan lamanya. Namun tanpa ragu Shaf datang ke rumah dan memintanya untuk menjadi istri.

Ashwa tidak berani bicara apa-apa. Kedua orang tuanya yang angkat bicara dan mengatakan kalau Ashwa sudah dilamar oleh Alan dan menerimanya. Ashwa melihat raut terkejut Shaf, bahkan sangat terkejut. Mungkin Shaf mengira kalau Ashwa masih terus menolak Alan. Ashwa sendiri tak percaya kalau ia sudah menerima Alan. Dan entah apa yang akan Alan lakukan saat ia mengetahui soal ini.

Akhirnya, setelah mengobrol ringan untuk mencairkan suasana, Shaf pamit pulang. Ashwa pun pamit untuk kembali ke restorannya setelah menyeret Linda ke kamarnya dan mengatakan kalau Alan jangan sampai mengetahui soal ini. Lalu Ashwa pun keluar bersama Shaf.

“Saya bener-bener kaget kamu terima lamaran Alan,” ujar Shaf, ketika mereka berada di teras rumah Ashwa.

“Saya lebih kaget Mas Shaf dateng ngelamar saya,” balas Ashwa, tak mau kalah terkejut.

Shaf terkekeh pelan sembari mengeluarkan tangannya dari saku celana. Ashwa sendiri kini melipat tangannya di bawah dada, ia menatap intens Shaf meminta penjelasan. Shaf yang mengerti kini mengangkat kedua tangannya.

“Apa harus kita bicarain di sini?”

Ashwa tersadar kalau dirinya masih ada di teras rumah. Ia pun menurunkan tangannya. “Kalau gitu kita ke restoran saya.”

Shaf pun menyetujui itu. Akhirnya mereka memilih untuk membicarakan soal ini di restoran Ashwa. Keduanya sudah duduk berhadapan dengan meja di tengah mereka dan dua gelas minuman di atas meja itu.

“Jadi Mas Shaf harus punya calon, kalau gak mau dijodohin sama orang tua Mas Shaf?” tanya Ashwa, setelah tadi mendengarkan penjelasan Shaf.

“Iyah.”

“Dan menurut Mas Shaf saya adalah calon yang tepat meski kita baru kenal kurang dari satu bulan?”

“Iyah.”

Ashwa menghela napas frustasi. “Darimana Mas Shaf tau kalau saya calon yang tepat?”

“Karena saya yakin sama kamu.”

Ashwa melongo. “Cuma karena itu?”

“Enggak. Saya punya banyak alasan, dan rasanya percuma kalau saya bilang. Toh, kamu udah terima lamaran Alan.”

Ashwa terdiam. Shaf ada benarnya. Tapi kan dia juga perlu tahu bagaimana penilaian Shaf tentangnya.

“Jadi sekarang gimana? Mas Shaf punya calon lain?”

“Enggak ada. Kandidat saya cuma kamu.”

Kandidat? Ashwa merasa kalau ia adalah mantan calon presiden yang tidak menang pemilu.

“Jadi mau gak mau saya harus terima perjodohan ini dan kembali ke India.”

Kan-kan benar. Shaf orang india. Pikir Ashwa, karena ia pernah menebak kalau Shaf keturunan India.

Ashwa menghela napas. Ia tidak tahu harus bicara apa lagi. Sampai akhirnya dering ponsel Shaf membuat situasi sedikit membaik. Shaf meminta izin untuk menerima telfon dan meninggalkan Ashwa yang masih terduduk dengan seribu pertanyaan yang tak mendapat jawaban. Beberapa menit kemudian Shaf kembali, namun tak duduk lagi. Ia pamit untuk pergi karena ada urusan yang harus diselesaikan. Entah urusan apa, Ashwa tak berani bertanya.

Ashwa pun berdiri. “Saya anter sampai depan, Mas,” katanya.

“Terima kasih. Dan kayaknya ini pertemuan terakhir kita. Saya mau mengucapkan terima kasih dan maaf sekali lagi.”

“Kenapa terakhir?” tanya Ashwa secara reflek. Sontak saja Shaf tersenyum.

“Jadi kamu mau kita bertemu lagi?”

“Eh,” Ashwa rasa dia salah bicara.

Shaf tersenyum melihat paras Ashwa yang merona. “Saya gak punya alesan buat ketemu kamu lagi. Saya bukan tipe laki-laki yang suka basa-basi tanpa tujuan pasti. Apalagi sama perempuan.”

Ashwa kembali terkagum dengan pribadi Shaf. Tapi bukan berarti ia menyesal telah menerima lamaran Alan.

“Lagipula kamu mau menikah sama Alan. Dan sepertinya saya juga harus menikah dengan wanita yang telah dijodohkan kedua orang tua saya.”

Ashwa mengangguk pelan dengan bibir terkulum. Jadi malam ini terakhir kalinya ia bertemu dengan Shaf. Pria ini hanya numpang lewat di dalam hidupnya.

Mereka berjalan bersisihan menuju pintu keluar. Namun siapa sangka, ketika membuka pintu, ada seseorang yang sudah berdiri di depan mereka seakan menunggu keduanya keluar. Ekspresinya datar, tak menyiratkan perasaan apapun dan sulit terbaca. Sampai akhirnya kakinya melangkah semakin mendekat.

“Mas?” Ashwa memanggil ragu, sedikit takut karena Alan yang biasanya memiliki seribu ekspresi kini terlihat seperti tak berperasaan.

Bugh

***

Sebagian cerita dihapus untuk kepentingan penerbitan!!!

Masih panjang loohh lanjutan di part ini

Sudah mulai Open PO
25 NOVEMBER - 9 DESEMBER 2019

Untuk pemesanan, silakan whatsapp
0855-9166-8689
(Adelia)

Mengejar Cinta Ashwa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang