16. Sebuah Tekad

85.1K 8.3K 204
                                    

“Beneran gak mau berangkat sama saya? Saya juga mau ke restoran kamu, loh.”

“Mau apa? Kan udah sarapan.” tanya Ashwa heran, lalu memakai helm-nya.

“Kan ini hari libur.”

Ashwa hanya memutar bola matanya, jengah. Ia tentu tahu apa maksudnya, yang berarti Alan akan menghabiskan waktu seharian di restorannya.

“Saya naik motor aja, Mas. Lebih cepet.”

Alan menganggukkan kepalanya, mengerti dengan alasan masuk akal itu. Ia pun memutuskan untuk pergi lebih dulu. Namun tetap saja Ashwa yang lebih dulu sampai di restorannya.

Ashwa memarkirkan motornya, lalu berjalan menuju restorannya yang sudah terdapat beberapa pelanggan di dalamnya. Ketika baru saja melangkahkan kakinya, ia sudah disambut oleh Shaf yang berdiri di depan pintu, seperti sengaja menunggu kedatangannya.

“Ada apa, Mas?” tanya Ashwa bingung.

“Saya mau bicara.”

Ashwa mengerjap dua kali, lalu mengajak Shaf untuk duduk di salah satu kursi. Kini mereka duduk berhadapan berhalangkan meja. Ashwa yakin ada hal penting yang ingin Shaf katakan.

“Sebelumnya saya minta maaf kalau selama ada di sini saya merepotkan kamu.”

“Mas bicara apa? Saya gak pernah merasa kerepotan.”

Shaf terkesiap mendengar bantahan cepat itu, lalu ia tersenyum. “Kalau begitu saya ucapkan terima kasih.”

Ashwa menghela napasnya. “Mas sebenarnya mau bicara apa?” tanyanya, ingin ke inti permasalahan.

“Maaf yah, Ashwa, saya harus keluar dari pekerjaan ini.”

Terkejut. Tentu saja itu respons pertama dari Ashwa. “Kenapa? Mas bilang Mas butuh pekerjaan ini?”

“Iyah, saya memang butuh. Tapi ada yang lebih penting yang buat saya terpaksa harus ninggalin kamu.”

Deg

Ninggalin kamu? Kenapa rasanya terdengar seperti mereka harus putus? Padahal ini hanya masalah pekerjaan.

Ashwa berdehem. “Sebenernya saya keberatan kalau Mas Shaf mau berhenti, karena saya butuh pekerja seperti Mas Shaf, jujur, ramah dan sopan. Tapi saya juga gak bisa maksa kalau itu yang Mas Shaf mau.”

Shaf menghela napas berat. Tentu saja ini bukan kemauannya. Semua ini karena Alan mengancamnya akan memberitahu ayahnya bahwa dirinya berada di sini. Kalau kalian berpikir Shaf pergi dari rumah, kalian memang benar. Shaf memang pergi dari kehidupan nyamannya, pergi dari ayahnya, keluarganya dan segala yang berhubungan dengan nama Singh. Shaf merasa nama itu menjadi beban baginya. Ia jadi sulit untuk hidup mandiri, ditambah ayahnya mengekangnya dan harus menuruti segala yang ia perintahkan. Jadi tidak heran sekarang Shaf pergi jauh dari keluarganya. Dan kehadiran Alan sungguh mengancam dirinya. Ia tidak ingin ditemukan.

“Maaf yah, Ashwa, saya harus pergi hari ini juga. Semoga kamu cepat menemukan pengganti saya.”

“Mas serius? Kenap buru-buru? Memang Mas udah punya pekerjaan baru?”

Shaf tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala.

“Kalau gitu gak usah buru-buru. Mas bisa di sini dulu sampai dapet pekerjaan baru.”

Andaikan bisa seperti itu. Namun sialan Alan itu mengancamnya agar pergi hari ini juga. Maafkan Shaf yang harus memaki pria itu. Tapi memang Alan sangat menyebalkan.

“Andaikan saya bisa, Ashwa.”

Ashwa mengernyitkan kening. “Kenapa gak bisa?”

Ashwa menunggu jawaban Shaf. Tapi kemudian ia menatap Shaf heran ketika melihat tubuhnya tiba-tiba tegap dan wajahnya menyiratkan raut terkejut, seperti melihat hantu. Arah pandangnya pun tertuju ke arah pintu. Ashwa mengikuti arah pandang pria di hadapannya. Ia mendapati dua orang ber-jas rapih yang tatapannya kini tertuju ke arah Shaf, lalu mereka berjalan mendekat.

Mengejar Cinta Ashwa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang