“Mas gak terima tawaran kerja dari Mas Alan?” tanya Ashwa, tepat setelah Alan pergi dari restorannya. Bahkan Shaf pun masih berdiri di tempatnya tadi saat berbicara dengan Alan.
“Enggak, Mbak.”
“Kenapa? Kan buat tambah pengalaman kerja. Supaya nanti setelah lulus jadi lebih mudah dapet kerja. Atau siapa tau bisa bekerja di perusahaan Wistara.”
Shaf tersenyum tipis. “Rezeki gak akan kemana, Mbak.”
Jawaban itu membuat Ashwa kembali terkagum padanya. Mungkin Shaf tahu kalau Alan meminta bekerja dengannya karena Alan tak suka melihatnya berada di dekat Ashwa, bukan karena Alan memang membutuhkan seorang pekerja.
***
Alan melihat ponselnya beberapa kali. Atau lebih tepatnya melihat pelacak berupa titik merah yang terdiam di satu tempat. Rupanya Ashwa tidak pergi sama sekali dari restorannya.
Alan menghela napas berat. Sekarang ia benar-benar memiliki seorang saingan. Lebih tepatnya saingan berat yang memiliki lebih banyak peluang ketimbang dirinya. Shaf bisa lebih sering bertemu dengan Ashwa, bahkan setiap hari, setiap jam dan setiap detiknya kalau dia mau. Sedangkan dirinya terjebak dalam ruangan mewah dengan dihadapkan komputer, laptop dan berkas-berkas. Sangat tidak adil, bukan?!
Karena itulah kini Alan sedang berusaha untuk mencari tahu siapa pria itu. Ia ingin mencari kelemahannya dan membuatnya bisa menyingkir dari hidup Ashwa.
***
Aneh sekali. Ya, Ashwa merasa kalau dirinya aneh. Mengapa ia terus memandangi pintu dan berharap seseorang masuk dengan senyuman tengilnya. Ashwa menggelengkan kepala dan ber-istighfar beberapa kali.
Kenapa ia jadi mengharapkan Alan datang? Dan kenapa jam segini Alan belum juga datang? Padahal sekarang sudah masuk waktu makan siang. Sedangkan biasanya Alan datang bahkan sebelum waktu makan siang tiba.
“Mbak gak makan siang?”
Ashwa tersadar dari lamunannya. Tatapannya jatuh pada sosok yang baru saja menegurnya. Ia pun tersenyum. “Nanti.”
“Mas gak siap-siap ke masjid?”
“Nanti,” jawabnya, sambil tersenyum seperti Ashwa. Pria itu mengambil makanan yang siap dikirimkan ke meja pemesan. Tanpa sadar Ashwa terus memperhatikannya.
Ashwa rasa pria itu tidak sepenuhnya keturunan darah Indonesia. Tinggi tubuhnya kira-kira 180cm, tidak lebih tinggi dari Alan. Kulitnya lebih gelap dari Alan yang merupakan blasteran Amerika. Dari alis, mata dan rahangnya, Ashwa teringat akan sosok aktor India yang film nya sering ditonton oleh Linda. Apa mungkin Shaf keturunan India?
Dan tanpa sadar, sedari tadi Ashwa membandingkan Shaf dengan Alan. Ada apa dengan dirinya sekarang? Kenapa semuanya ia sangkut pautkan dengan Alan?
***
Shaf sudah pergi ke masjid sejak lima menit yang lalu. Suara adzan sudah berkumandang, namun Ashwa belum juga menemukan tanda-tanda kedatangan Alan.
Astaghfirullah, kenapa jadi nungguin Mas Alan?
Bahkan Ashwa bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mungkin, karena mengingat kejadian semalam jadi membuat Ashwa merasa bersalah, Ashwa ingin menebusnya dengan menyambut baik pria itu di restorannya.
Menit terus berjalan. Setiap ada yang membuka pintu kaca tersebut, Ashwa selalu bergerak cepat untuk melihatnya. Namun kali ini, yang membuka pintu adalah Shaf yang baru pulang dari masjid. Pria itu kini berjalan masuk sambil membenarkan lipatan lengan kemejanya. Ketika kepalanya terangkat, tatapannya bertemu dengan Ashwa yang memang tak mengalihkan pandangan darinya. Sepertinya akhir-akhir ini Ashwa begitu sulit menjaga pandangannya.
Shaf tersenyum menyapa, dibalas oleh Ashwa bersama dengan anggukan kecilnya. Setelah sampai di depan mejanya, pria itu bertanya, “Mbak lagi gak shalat?”
“Enggak. Saya lagi kedatengan tamu bulanan.”
Shaf tersenyum memaklumi, lalu berlalu pergi untuk mengganti pakaiannya.
Ashwa menghela napas. Ia menunduk sambil memainkan pulpen di tangannya. Suara pintu terbuka terdengar kembali, tapi kali ini Ashwa tidak melihatnya. Mungkin Alan memang tidak bisa datang hari ini. Ponselnya bahkan tidak memunculkan notif apapun. Ke mana perginya Alan?
Tunggu, kenapa Ashwa jadi sangat memikirkan Alan begini?
“Assalamu'alaikum, Ashwa.”
Bagai sebuah sambaran kilat, secepat itu juga Ashwa mengangkat kepalanya. “Mas Alan.” Oh tidak, Ashwa terlalu bersemangat.
Alan yang melihat itu tersenyum tampan. Sedangkan Ashwa kini meringis malu. “Maksudnya, wa'alaikumussalam.”
Kali ini Alan memakai kemeja berwarna abu-abu, sedangkan celananya berwarna hitam. Rambut basahnya tersisir rapih ke belakang, sedangkan wajahnya nampak berseri-seri dengan senyuman manis sebagai tambahannya.
“Kamu nungguin saya, yah?!” Kalimat itu terdengar seperti bukan pertanyaan. Ashwa pun mengelak. “Dih, siapa yang nungguin Mas Alan?!”
Alan hanya tersenyum geli.
“Udah makan siang?”
Ashwa menggeleng.
“Ayo makan sama saya.”
“Tapi saya—”
“Mulai hari ini orang suruhan saya kerja jadi kasir kamu. Saya tahu kamu meminimalisir pengeluaran karena itu kamu gak pekerjain banyak karyawan, jadi kamu gak usah gaji orang suruhan saya.”
“Tapi, Mas—”
“Saya laper, Ashwa.”
Ashwa mengulum bibirnya, dari mana Alan bisa tahu alasannya itu?
“Ayo!”
Ashwa tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala dan mengikuti Alan yang berjalan ke salah satu meja.
“Di mana Shaf?”
“Mau makan apa, Mas?”
Alan bertanya bersamaan dengan Ashwa yang bertanya. Akhirnya ia malah jadi tidak fokus dengan pertanyaannya sendiri.
“Yang biasa,” jawabnya, sambil mendudukkan diri.
“Oke, hari ini saya traktir.”
Sontak saja senyuman Alan semakin memenuhi wajahnya. Entah ada apa dengan Ashwa, namun dia senang Ashwa seperti ini.
Ashwa duduk di hadapannya setelah memesankan makanan pada Rina. Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada Alan.
“Mas Alan tadi nanya apa?”
“Oh, bukan apa-apa.” Pertanyaan tadi Alan jadikan nomor dua. Karena sekarang ia ingin menikmati sikap Ashwa yang berbeda dari biasanya.
“Tumben Mas Alan baru dateng.”
Lihat, Ashwa bahkan berbasa-basi padanya.
“Iyah, ke masjid dulu.”
Ashwa hampir tak percaya. Namun mengingat bahwa Alan pernah bicara kalau dirinya akan berubah, Ashwa mengangguk mengerti.
“Kamu kenapa, Ashwa?” Akhirnya Alan bertanya.
Ashwa mengernyitkan keningnya, dan balik bertanya pada Alan, “memang saya kenapa?”
“Emang gak ngerasa beda?”
Ashwa mengerjapkan matanya. Tentu saja ia mengerti maksud Alan. Namun dirinya memilih untuk mengedikkan kedua bahunya seperti tidak mengerti apa-apa.
Alan hanya tersenyum gemas. Lalu ia mengedarkan pandangannya dan menemukan sosok pria yang dicarinya. Sekarang Alan sudah tahu siapa pria itu sebenarnya. Yang tidak ia tahu adalah apa alasan pria itu memilih bekerja di sini di saat ia bisa memiliki kehidupan yang sama seperti dirinya.
TBC
Siapakaah diaaa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Ashwa [SELESAI]
RomanceROMANCE - COMEDY "Kenapa gitu? Cuma karena gak shalat subuh saya jadi gak bisa halalin kamu? Kalau gitu besok saya shalat subuh, terus ke sini lagi sekalian bawa penghulu." *** Bagaimana jadinya kalau kamu disukai dan dikejar-kejar oleh seorang peng...