“Ashwa, hari ini kamu pulang sore?”
“Iyah.”
“Ada apa?
“Kondangan.”
“Oh.”
Ashwa langsung mendongak. Ia curiga dengan jawaban kelewat singkat dari Alan. Terakhir kali, saat Alan hanya berkata ok, sebuah sepeda motor datang ke tokonya.
“Mas Alan mikirin apa?” tanya Ashwa, sambil memicingkan mata, menatap Alan penuh curiga.
Alan tersenyum, sambil meletakkan sendok dan garpunya di atas piring yang sudah kosong.
“Kayaknya kamu udah kenal banget, yah, sama saya?!”
Seharusnya Ashwa tidak usah bertanya seperti itu. Ia lupa kalau tingkat percaya diri dan tingkat ke ge er-ran Alan sudah ada di level tak tertolong.
Ashwa memilih untuk tak menggubris Alan lagi. Ia mengelap mulutnya lalu berdiri.
“Mau ke mana?”
“Pulang.”
“Loh, ini kan masih siang.”
“Suka-suka saya,” juteknya, lalu memanggil Rina yang kini sudah berdiri di depannya.
“Nanti kalau ada yang dateng buat lamar kerja, kamu aja yang interview yah, Rin. Yang paling utama itu laki-laki, biar bisa ngelakuin pekerjaan yang berat-berat juga.”
“Iyah, Mbak.”
“Saya mau pulang dulu. Nanti lepas maghrib ke sini lagi.”
Rina mengiyakan kembali. Alan pun kini berdiri setelah sebelumnya meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke atas meja. Sudah dipastikan uang Alan sangat lebih untuk membayar pesanannya. Tapi memang seperti itulah Alan, selalu membayar lebih dan tidak mau diberi kembalian.
“Akhirnya buka lowongan juga. Tapi kenapa harus laki-laki?” Alan bergumam tak suka. Pasalnya, selama ini karyawan Ashwa adalah perempuan. Bahkan sampai ke cheff nya juga.
“Karena di sini gak ada karyawan laki-laki, Mas.” Itulah jawaban Ashwa.
“Yaudah, nanti biar orang suruhan saya yang jadi karyawan di sini. Biar gak berani macem-macem.”
Ashwa berdecak, lalu kembali berbicara pada Rina. “Rin, kamu harus interview yang bener-bener! Saya gak mau kalau ternyata dia anak buahnya Mas Alan.”
“Loh,” Alan tak terima. “Memang apa yang salah? Yang penting kan bisa kerja. Kamu juga gak perlu bayar dia.”
“Makasih, Mas Alan. Tapi gak usah repot-repot!”
“Saya gak repot.”
“Saya yang repot. Mas Alan terlalu banyak ambil bagian dalam hidup saya. Mas Alan terlalu banyak ikut campur,” tukas Ashwa, tak bisa lagi memendam kekesalannya.
Dan seperti biasa, Alan menjawab begitu santay. “Ya jelas lah, kamu kan calon saya, gimana, sih?!”
Ashwa menarik napas dalam lalu mencoba untuk tersenyum tipis. “Saya pamit pulang dulu, assalamu'alaikum.”
Rina menjawab salam Ashwa. Sedangkan Alan memilih memandangi wanita itu sampai keluar dari restoran. Barulah ia menjawab salamnya. Ashwa memang sangat unik, sangat berbeda dengan banyak wanita yang Alan kenal.
“Mas, ini gak mau dikembaliin lagi?” pertanyaan itu membuat Alan tersadar dari lamunannya. Ia melihat Rina yang kini sudah memegang uang yang ia letakkan di atas meja.
“Gak usah. Simpen aja kembaliannya.”
Rina tersenyum dan berterima kasih.
“Rina,” panggil Alan, ketika Rina baru saja berjalan melewatinya.
“Iyah, Mas?”
“Kira-kira jam berapa Ashwa biasanya pergi ke acara pernikahan?”
Menelisik dari kebiasaan Ashwa yang sudah Rina hapal, ia pun menjawab, “kalau sama bundanya, biasanya jam empat atau setengah lima. Kalau sendirian, biasanya habis maghrib atau habis isya.”
Alan menganggukkan kepala. “Oke, makasih.“
***
“Jadi kamu beneran mau menikah?”
Ashwa menggaruk hidungnya mendengar tiga kali pertanyaan yang sama dalam satu hari.
“Enggak, Bunda.”
“Terus yang namanya Alan itu sebenernya siapa?”
“Bukan siapa-siapa.”
“Kalau bukan siapa-siapa kenapa selalu nganterin kamu pulang?”
“Karena dia maksa. Dia suka sama Ashwa. Tapi Ashwa gak mau.”
“Kalau memang dia suka, harusnya datengin Bunda sama Ayah, dong.”
“Gak Ashwa bolehin.”
“Kenapa? Kan biar jelas tujuan dia.”
“Tujuan dia udah jelas. Mas Alan mau nikahin Ashwa. Tapi Ashwa gak mau.”
Linda tak habis pikir dengan putrinya ini. Sudah jelas tujuan Alan baik, tapi kenapa malah ditolak? Usia Ashwa sendiri sudah bisa dikatakan matang untuk menikah. Lalu apa yang ia tunggu?
“Usia kamu udah dua puluh dua tahun. Dulu, umur segitu Bunda udah punya anak. Lah kamu, mau ada yang ngajak nikah, masih aja gak mau. Nungguin apa, sih?”
Ashwa menghela napas lalu meletakkan setrikaannya. “Ashwa juga mau menikah, tapi bukan sama Mas Alan!” tolaknya, keras.
“Astaghfirullah, gak boleh gitu, Ashwa. Gimana kalau ternyata jodoh kamu memang Alan? Mau bilang apa kamu sama Allah sampe berani-berani bilang kaya gitu?”
Deg
Kalimat Linda barusan seperti memberi pukulan pada Ashwa. Ia tertegun, lalu ber-istighfar beberapa kali.
“Hati-hati, lidah kamu berbahaya!” Linda memperingati.
Ashwa menghela napasnya. Lalu terpikirkan kembali ucapan Linda.
Bagaimana kalau Alan memang jodohnya?
***
Sore ini, Ashwa dan Linda sudah tampil cantik dan bersiap untuk pergi ke acara pernikahan seorang kerabat. Namun, ketika membuka pintu rumahnya, kedua orang itu berdiri kaku. Yang satu wajahnya bertanya-tanya, yang satu lagi menatap tak percaya. Sampai akhirnya, kalimat yang keluar dari bibir seorang pria di depan mereka menyadarkannya.
“Assalamu'alaikum.”
Pria yang memakai setelan jas hitam itu tersenyum ramah. Tak ada raut gugup atau cemas di wajahnya. Ia memang selalu tampil percaya diri dimana pun dan di hadapan siapapun.
“Wa'alaikumussalam. Siapa, yah?” Linda bertanya sambil berusaha mengingat-ngingat wajah pria muda yang tampan di depannya.
Lalu, dengan lancarnya dan tak gagu sedikitpun, pria itu menjawab dengan pasti.
“Nama saya Alan Pramudana Wistara. Saya calon suami Ashwa, sekaligus calon menantu Bunda Linda.”
“HA?!”
Ashwa kehilangan oksigennya.
❤❤❤
Apa yang akan kalian lakukan kalau ada di posisi Ashwa? 😱
Kokk pendeeeekkk???
Iyah iyah, emang part ini cuma 800 word 😅
Besok insya allah up lagi kok 💕
![](https://img.wattpad.com/cover/196033096-288-k272561.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Ashwa [SELESAI]
RomanceROMANCE - COMEDY "Kenapa gitu? Cuma karena gak shalat subuh saya jadi gak bisa halalin kamu? Kalau gitu besok saya shalat subuh, terus ke sini lagi sekalian bawa penghulu." *** Bagaimana jadinya kalau kamu disukai dan dikejar-kejar oleh seorang peng...