“Tuan Muda—”
“Jangan panggil saya seperti itu!” sewotnya pada seseorang yang kini berdiri di belakangnya.
Pria itu menghela napasnya. “Sekarang sudah sore. Sebaiknya kita pulang atau Ayah Anda akan khawatir.”
Lelaki berseragam SMA itu masih berdiri diam di tempatnya sambil memandangi seorang gadis yang sedang latihan paskibra di lapangan. Ia sendiri kini berdiri di lantai tiga sekolahnya dan tangannya ia lipat di atas serambi pembatas koridor yang setinggi dada. Sesekali ia membenarkan letak kacamatanya, lalu ketika merasa sangat terganggu, ia melepas kacamata itu dan melemparnya asal di lantai koridor. Barulah sekarang ia lebih leluasa memperhatikan gadis yang ia sukai di sana.
Suara ponsel terdengar. Pria ber-jas hitam itu merogoh saku celana bahannya dan mengangkat panggilan tersebut.
“Tuan Alan belum mau pulang.”
“Baik.” Ia pun kembali menaruh ponselnya di saku celana.
“Ayah?” Lelaki bernama Alan itu baru saja bertanya.
“Iyah. Anda harus pulang dan bersiap untuk acara makan malam.”
“Sebentar lagi,” ujarnya. Ia masih betah melihat gadis di bawah sana.
“Kenapa Anda tidak menyapanya?”
Alan hanya menggeleng.
“Apa dia mengenalmu?”
Alan menggeleng lagi.
“Aku menyukainya tanpa alasan. Rasanya aneh jika aku menyapanya tanpa alasan.”
“Coba saja untuk menyapa. Siapa tahu dia juga menyukai Anda.”
“Dengan penampilanku sekarang rasanya tidak. Siapa yang akan menyukai seorang nerd?”
“Kalau begitu ubah penampilan Anda.”
Alan menggeleng. “Akan terlalu banyak yang mendekat. Para penjilat.”
Pria itu menghela napasnya. Putra dari atasannya ini memang tidak memiliki banyak teman. Bahkan tidak memiliki teman satu pun. Dia sangat penyendiri dan memang sosok yang sangat mandiri.
“Ayo pulang!”
“Sudah, Tuan?”
“Aku tidak akan pernah puas melihatnya. Tapi sekarang belum waktunya.”
***
Alan tersenyum sembari memandangi ponselnya yang tertera nama Ashwa di sana. Ia pun mengangkat telfon itu tanpa melunturkan senyumnya.
“Assalamu'alaikum, Ashwa,” salamnya hangat.
Namun wanita di sana terdengar telah habis kesabaran. “Wa'alaikumussalam. Mas Alan, kenapa sekarang tetangga saya bisa ngira kalau kita mau menikah?”
“Oh ya?” Itulah respons Alan, ia pura-pura tidak tahu meski kini bibirnya tersenyum lebar.
“Iyah. Ini kerjaan Mas Alan, 'kan?”
“Loh, kok kamu su'udzon ke saya, sih?”
Hanya terdengar dengusan dari sebrang sana. “Emang dasarnya tetangga kamu aja yang suka gosip.”
“Yah kan gak akan ada asap kalau gak ada api!”
“Ah enggak. Kemarin saya bakar-bakaran, ada asep tapi gak ada apinya.”
“Iiihhh Mas Alaaan.”
Alan tertawa. “Jangan teriak-teriak, Ashwa! Kamu nanti dimarahin orang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Ashwa [SELESAI]
RomanceROMANCE - COMEDY "Kenapa gitu? Cuma karena gak shalat subuh saya jadi gak bisa halalin kamu? Kalau gitu besok saya shalat subuh, terus ke sini lagi sekalian bawa penghulu." *** Bagaimana jadinya kalau kamu disukai dan dikejar-kejar oleh seorang peng...