“Aku kerja di perusahaan Wistara.”
“Wistara? Milik Alan Pramudana Wistara?” tanya Ashwa tak percaya. Kenapa dunia begitu sempit?
“Iyah. Kamu kenal?”
Ashwa bingung harus menjawab apa. “Heum .... emang siapa yang gak kenal dia?”
Dimas terkekeh. Benar juga, wajahnya tidak jarang berkeliaran di televisi dan majalah bisnis.
“Aku gak nyangka bisa kerja di perusahaan itu. Dari sejak kuliah udah jadi target. Alhamdulillah tercapai juga.”
“Memang apa hebatnya kerja di Wistara?”
“Bagi beberapa orang, khususnya aku, kerja di perusahaan Wistara itu udah masuk dalam target pencapaian. Banyak peluang yang bisa diambil. Gajinya juga enggak cuma bisa dibilang lumayan, apalagi sekarang aku udah dipindah ke Jakarta, bukan di cabangnya lagi.”
Dari cerita yang Ashwa dengar, Dimas sangat suka dengan pekerjaanya.
“Pak Alan juga tegas, profesional dan ambisius. Kadang iri liat dia udah bisa mimpin perusahaan yang begitu besar di usia yang gak jauh beda sama aku.”
Ashwa tersenyum miris. Kalau Dimas tahu bagaimana sikap Alan sesungguhnya, mungkin Dimas tidak akan membangga-banggakannya seperti sekarang. Manusia yang sering melakukan sesuatu semaunya itu tak patut dipuji.
“Makasih makan siangnya yah, Ashwa.” Dimas berdiri.
Ashwa ikut bangkit dari duduknya. “Harusnya aku yang makasih karena kamu makan di restoran aku.”
Dimas tersenyum. “Kalo gitu, makasih udah nemenin makan siang.”
Kali ini Ashwa menganggukkan kepala dan tersenyum.
“Aku pergi dulu. Waktu istirahatnya udah hampir habis.”
“Iyah. Hati-hati di jalan.”
“Iyah. Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumussalam.”
Tak lama seperginya Dimas, ponsel Ashwa berdering. Nama Mas Alan tertera di layarnya. Entah apa yang membuat Alan menelfonnya.
“Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumussalam, Ashwa. Kamu makan siang lagi sama laki-laki itu!”
Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Ashwa menoleh ke segala arah, mencari sosok Alan yang entah ada di mana, namun ia merasa diintai oleh pria itu.
“Gak usah tengok sana-sini! Saya lagi di kantor. Kalo saya di sana, udah gak ada bentuknya itu laki-laki.”
Ashwa duduk pada kursi. Alan tidak ada di sini, namun bagaimana dia bisa tahu kalau dirinya sedang tengok sana-sini.
“Mas Alan punya indra ke enam atau gimana?”
“Saya punya indra ke sepuluh.”
Ashwa mendengus. “Mas Alan, denger yah, saya punya hak buat makan siang sama siapapun!”
“Memang. Tapi si Dimas gak punya hak buat makan siang sama kamu!”
Ashwa membelalakan matanya terkejut. Bagaimana Alan bisa tahu? Apa Alan juga tahu kalau Dimas bekerja di perusahaannya?
“Mas Alan tau?”
“Saya juga tau kalau dia mantan kamu. Jadi saya gak izinin kalian untuk ketemu-ketemu lagi. Cukup kemarin dan hari ini! Assalamu'alaikum.”
Tuuutt tuutt
Lah?
Ashwa menghela napasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Ashwa [SELESAI]
RomanceROMANCE - COMEDY "Kenapa gitu? Cuma karena gak shalat subuh saya jadi gak bisa halalin kamu? Kalau gitu besok saya shalat subuh, terus ke sini lagi sekalian bawa penghulu." *** Bagaimana jadinya kalau kamu disukai dan dikejar-kejar oleh seorang peng...