5. Sebagai Mahram

99K 9.8K 247
                                    

"Dari skala 1 sampai 10, ada di level berapa kegantengan saya malem ini?"

Tidak ada angin, tidak ada hujan, dan tidak ada badai. Pukul setengah delapan malam di restoran Ashwa, seorang pria yang memakai tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu di tengah kerah kemejanya menanyakan perihal penampilannya pada Ashwa.

Aroma maskulin yang memanjakan indra penciuman milik Ashwa pasti berasal dari pria yang rambut mengkilapnya hasil dari polesan pomade mahal itu, bisa jadi ada yang secara khusus menata rambutnya. Jangan tanya seperti apa penampilan seluruhnya, wanita-wanita pemuja pria tampan nan kaya raya, pasti memberi nilai sempurna untuk Alan.

"Sepuluh." Bahkan Rina memberikan nilai sepuluh. Sayangnya itu tidak memuaskan Alan meski kini ia tersenyum. Ia masih menunggu jawaban Ashwa.

Ashwa mengalihkan pandangannya. Ia ber-istighfar lantaran jantungnya berdebar tak biasa untuk pertama kalinya saat melihat Alan. Ashwa akui, ia memang sering melihat Alan berpenampilan seperti ini, namun hanya di televisi atau koran dan majalah. Tapi sekarang, Alan berdiri di depannya, memamerkan senyuman mempesona yang membuat wanita di sekitarnya betah memandang lama-lama. Tapi tidak dengan Ashwa yang berusaha keras untuk tidak memperdulikan Alan.

"Karena kamu gak jawab, saya anggep kamu kasih nilai sebelas."

Ashwa menghela napas. Biarlah Alan berkata apa.

"Malem ini saya diundang ke pesta. Kamu mau ikut?" Alan sungguh bertanya. Meski tahu jawabannya. Namun, kalau benar Ashwa mau ikut dengannya, sudah dipastikan wanita yang Alan bayar untuk menemaninya tidak jadi ia gunakan jasanya.

"Enggak."

"Ya ya ya, saya tau, kita bukan mahram."

Kehadiran Alan dengan penampilan seperti itu malam ini membuat pelanggan di restoran Ashwa tertarik perhatiannya. Dan Ashwa juga menyadari hal itu.

"Kalau di sana ngebosenin, saya balik lagi ke sini."

"Mau apa?"

"Karena ngeliat kamu gak bikin saya bosen."

Ashwa menepuk keningnya. Ada yang salah dengan mata dan otak Alan.

"Kalau saya gak ke sini lagi, kamu jangan pulang jalan kaki!"

"Iyah."

"Kalau saya ke sini, kita pulang jalan kaki."

"Hm."

"Kalau begitu saya pergi dulu. Assalamu'alaikum, Ashwa."

"Wa'alaikumussalam, Mas Alan."

Seperginya Alan, Ashwa menghela napas panjang. Sudah tiga bulan lebih pria itu terus mengisi hari-harinya. Mau tidak mau, Ashwa jadi terbiasa. Bahkan sudah beberapa kali Alan mengaku kalau ia batal pergi ke luar kota untuk urusan bisnisnya karena Ashwa sebagai alasannya. Ashwa pikir, Alan terobsesi padanya. Terkadang ia takut kalau Alan akan melakukan sesuatu yang buruk jika Ashwa terus menolaknya. Namun mau bagaimana pun, Ashwa tidak boleh su'udzon pada Alan yang selama ini sangat baik padanya. Hanya saja Alan memang sangat menyebalkan. Namun seperti kata Alan, di mata orang lain, Alan dikatai sebagai manusia yang kejam.

Jadi seperti apa Alan di mata Ashwa? Jelas sekali kalau ia benar-benar pria yang sangat menyebalkan, keras kepala, egois, stalker akut, penguntit... tuh kan, Ashwa jadi su'udzon lagi. Tapi bagaimana tidak su'udzon kalau tiap kali ia bertemu dan mengobrol dengan teman prianya Alan bisa tahu. Tiap kali Ashwa pergi bahkan tanpa memberitahu siapapun, tiba-tiba saja Alan sudah ada di dekatnya.

Alan sangat penuh misteri. Uang dan pengaruhnya mampu membuat ia melakukan apapun yang ia inginkan. Ashwa yakin, kalau Alan benar-benar menginginkan ia menjadi istrinya, Alan bisa mewujudkan itu dengan cara yang picik. Namun Alan tak melakukannya. Ia begitu sabar dengan setiap penolakan yang Ashwa berikan, dan terus berusaha untuk mendapatkan Ashwa dengan caranya sendiri. Bahkan sampai menyingkirkan siapapun yang berusaha mendekati Ashwa.

Mengejar Cinta Ashwa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang