"Apa kamu tidak bosan melihat matahari tenggelam dan terbit hampir setiap hari?" Suara Wulan mengagetkan Baruna yang sedang berdiri di ujung dermaga menatap tenggelamnya matahari sore. "Itu adalah matahari yag sama dengan yang kemarin, seminggu, sebulan, setahun, seratus bahkan seribu tahun yang lalu!"
Baruna bergeming terus memperhatikan matahari yang perlahan turun ke peraduannya. "Matahari tenggelam meninggalkan hari yang lama dan terbit untuk menemui hari yang baru," ujarnya.
"Kamu sendiri? Apa sudah meninggalkan hari lamamu dan menemui hari barumu?" Baruna terdiam. Wulan meliriknya, memperhatikan ekspresi wajah laki-laki disampingnya itu. "Sampai kapan kamu akan terus di sini dan seperti ini? Tidakkah kamu ingin mengubahnya? Taufan saja selalu kembali ke rumah setiap kali kabur ke sini!"
"Kenapa tiba-tiba kamu membandingkan aku dengan Taufan?" Baruna menoleh dan memandang Wulan. "Jangan-jangan kamu memang suka dengan dia?!"
"Hei! Bukan maksudku seperti itu!"
"Lalu?" Baruna tersenyum.
"Maksudku, apa kamu tidak ingin pulang ke rumahmu? Merindukan keluargamu?"
Baruna terdiam sesaat, kemudain menghela nafasnya dan tersenyum. "Tidak! Aku lebih senang di sini bersamamu!" ujarnya, lalu dengan tia-tiba merangkul pundak Wulan dengan erat.
"Apa-apaan sih!" Wulan meronta berusaha melepaskan rangkulan tangan Baruna, namun laki-laki itu makin mempererat rangkulannya sambil tertawa.
"Atau, sebenarnya kamu suka padaku, tapi malu mengatakannya?"
"Siapa yang suka padamu!" Wulan menyikut pinggang Baruna.
"Buktinya kamu mau menemaniku melihat matahari terbenam di sore yang indah ini."
"Heh!" Wulan mendorong tubuh Baruna dengan keras hingga rangkulan tangan pada pundaknya terlepas. "Aku ke sini karena kasihan padamu! Bengong sendirian, nanti ujung-ujungnya terjun ke laut! Siapa nanti yang repot?!"
"Jadi, bukan ingin menikamati suasana sore yang romantis denganku?" Baruna tertawa. Wulan memasang muka masam.
Terdengar kumandang azan maghrib. Baruna pun beranjak pergi. Matahari pun sampai ke praduannya dengan meninggalkan warna jingga kemerahan di cakrawala.
***
Selesai makan malam, Taufan langsung masuk ke kamarnya, menghindari pertanyaan-pertanyaan dari Papa akan kepergiannya, yang ujungnya pasti akan timbul perdebatan dan pertengkaran dan Mama yang menangis karena tidak tahu harus berbuat apa dan membela siapa. Dihampirinya meja di kamarnya yang nampak berantakan karena ada beberapa buku yang dibiarkan tergeletak dan terbuka. Mata Taufan kemudian tertuju pada uang lima puluh ribuan terlipat yang tergeletak bersama dompet kulitnya di samping sebuah buku yang terbuka. Diambilnya uang tersebut, dibuka lipatannya lalu dipandanginya uang pemberian Syamsul itu. "Kenapa Papa tidak seperti ayahnya Wulan? Yang selalu ramah dan tersenyum?" benaknya, lalu memasukkan uang tersebut kedalam dompet. Dia teringat bagaimana pengalaman pertamanya melaut.
Terdengar ketukan di pintu kamar dan disusul suara Mama. "Kamu belum tidur, Fan? Ini Mama. Boleh Mama masuk?"
"Masuk saja Ma, tidak dikunci," jawab Taufan. Mama masuk sambil tersenyum dan berdiri disamping Taufan.
"Kamu kemana saja, Fan?"
"Ke rumah teman, Ma."
"Lalu, bagaimana dengan skripsimu? Kamu jadi mengambil studi kasus di perusahaan Papa?"
"Iya Ma. Bukankah itu yang Papa inginkan!" Mama mengelus rambut anak bungsunya tersebut. "Sudah ada kabar lagi dari Mas Badai?" Taufan mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin melihat Mama bersedih.
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Novela Juvenil"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...