Taufan mengajak Baruna ke rumah Kosim.
"Jadi ini tempatmu melukis?"
"Iya. Dan inilah tempat dimana orang-orang yang kata papaku tidak berguna itu!" Taufan berkata sambil tersenyum. Mereka bertemu dengan Kosim. Taufan memperkenalkan Baruna kepada Kosim dan Dayat yang saat itu akan bersiap-siap pergi menjadi juri lomba lukis tingkat SD dan SMP yang diadakan sebuah Yayasan Pendidikan.
"Jangan sungkan-sungkan, anggap saja seperti rumah sendiri," kata Kosim kepada Baruna sebelum pergi.
"Mas Kosim dan Mas Dayat adalah seorang guru di dua SMP yang berbeda, keduanya masih berstatus sebagai honorer," jelas Taufan.
"Jadi apa maksud papamu kalau mereka orang-orang yang tidak berguna? Apa karena mereka hanya seorang guru honorer dan seniman yang mungkin menurut papamu, dengan apa yang mereka lakukan, mereka tidak akan bisa mendapatkan apa yang telah dia dapatkan sekarang!" ujar Baruna.
"Yah mungkin begitulah. Masa lalunya membuat Papa berpikiran seperti itu!"
"Dan sepertinya mindset papamu sukar untuk berubah! Tapi ya sudahlah, kita di sini bukan untuk membahas papamu. Ngomong-ngomong, mana lukisan hasil karyamu, Fan?"
"Itu lukisan-lukisanku!" Taufan menunjuk dinding si sebelah kanan Baruna. "Belum seberapa jika dibandingkan dengan lukisan Mas Kosim dan Mas Dayat!"
Baruna menoleh ke dinding yang ditunjuk oleh Taufan, kemudian memperhatikan satu persatu lukisan tersebut. "Aku tidak menyangka, ternyata lukisan-lukisanmu sangat bagus. Apa papamu tahu kamu bisa melukis sebagus ini?"
"Papa tidak mau tahu!"
"Mamamu?"
"Aku pernah menunjukkan salah satu hasil lukisanku dan dia sangat senang."
"Hei! Bukannya ini kapal Pak Syamsul?" Baruna menunjuk lukisan kapal nelayan. Taufan membenarkannya. Baruna kembali memperhatikan satu per satu lukisan Taufan. "Aku melihat dan merasakan ada sesuatu yang berbeda antara ketiga lukisan lautmu ini dengan yang lainnya, Fan!"
Taufan tersenyum. "Mas Kosim pun mengatakan hal yang sama! Aku tidak mengerti, sebenarnya perbedaan apa yang kalian lihat!"
"Coba kamu perhatikan lukisan-lukisanmu! Perbedaan itu terlihat sekali. Ketiga lukisanmu yang terakhir ini, yang bertema laut terlihat lebih bercahaya dan berwarna, sedangkan lukisanmu yang lain terlihat gelap dan suram." Taufan mencoba membandingkannya. "Sebagai contoh, bandingkan lukisan anak kecil yang sedang duduk di dahan pohon dengan kapal nelayan Pak Syamsul. Lukisan anak kecil ini, walaupun dia tersenyum, tapi nampak seperti senyum yang dipaksakan. Lihat matanya, redup dan tidak bergairah. Ada beban didalamnya. Warna yang kamu gunakan cenderung suram. Tapi coba lihat lukisan kapal nelayan ini. Walaupun malam hari, tapi warnanya cerah. Juga bulan yang kamu buat ini, seperti sedang tersenyum lepas, juga ombak yang menari ini! Semuanya nampak senang dan bahagia!" Taufan terdiam sambil memperhatikan lukisan-lukisannya dan mencoba membanding-bandingkannya.
Taufan tersenyum. "Karena aku merasa bebas di sana.Ah sudahlah, tidak usah dibahas. Sekarang kamu jadi aku lukis?"
"Jadi dong! Aku ingin tahu bagaimana tampangku dalam lukisanmu!" Baruna tertawa.
Taufan menyuruh Baruna duduk diam, dia mempersiapkan alat-alat lukisnya. Tidak lama kemudian tangannya sudah menari-nari di atas kanvas dengan kuas dan cat minyaknya.
"Sampai kapan hubunganmu dengan papamu akan seperti itu?" tanya Baruna setelah cukup lama terdiam.
"Aku tidak tahu!" jawab Taufan sambil terus melukis.
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Teen Fiction"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...