Wulan yang baru keluar dari rumah Kakek setelah mengantarkan makanan terkejut melihat Baruna dan Taufan yang datang dengan wajah lebam dan pakaian yang agak kotor. "Kalian kenapa?" tanyanya heran dan secara reflek tangannya menyentuh kedua laki-laki yang berdiri didepannya itu secara bergantian. "Kalian habis berkelahi?!"
"Namanya juga laki-laki, babak belur begini sudah biasa!" tukas Baruna tersenyum sambil berusaha menyingkirkan tangan Wulan dari wajahnya.
Taufan baru akan membuka mulut tapi Wulan terburu menyahutnya. "Kamu juga akan mengatakan hal yang sama!" Wulan memandang tajam kedua laki-laki didepannya itu.. "Sekarang ikut aku! Biar aku obati!"
"Tidak perlu. Kami baik-baik saja! Sekarang kami akan mandi dan berganti pakaian."
"Ada lautan luas di sana! Kalian bisa mandi sepuasnya di sana sekalian mencuci baju! Sekarang ikut aku!" bentak Wulan lalu menarik tangan Baruna dengan tangan kanannya dan tangan Taufan dengan tangan kirinya.
"Hei, tidak usah ditarik! Kami bisa jalan sendiri!" protes Baruna. Wulan tidak mengindahkannya. "Atau kamu memang sengaja menarik tangan kami, supaya bisa bersentuhan?" goda Baruna sambil tertawa.
"Kalian jangan berpikiran yang kotor! Aku tidak mempunyai maksud apa-apa dengan kalian!" tukas Wulan sambil melepaskan tangan keduanya.
"Tapi kami tidak keberatan. Ya kan Fan?" Baruna tertawa.
"Benar. Aku tidak keberatan kok!"
"Kenapa kamu jadi ikut-ikutan! Rupanya kamu sudah ketularan gila si bengal ini!" Wulan melotot kepada Taufan.
"Jadi mari kita berpegangan tangan saja dengan mesra?" Baruna tersenyum sambil mencoba meraih tangan Wulan.
"Dasar anak bengal! Sinting!" Wulan mendorong tubuh Baruna dan menampar pipinya yang lebam hingga membuat Baruna mengaduh kesakitan. Taufan hanya tertawa,
Sesampainya di rumah, Wulan langsung mengobati lebam dan luka-luka Taufan dan Baruna.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kalian berkelahi dengan siapa? Atau jangan-jangan, kalian berdua saling berkelahi!" Wulan menatap tajam Taufan dan Baruna bergantian dengan pandangan penuh curiga.
"Iya untuk mendapat perhatian dari kamu!" ujar Baruna sambal tertawa dan sambil memberikan setetes antiseptik pada luka di siku tangan kirinya.
"Enggak lucu!" tukas Wulan.
"Iya bener, siapa yang menang berhak mendapatkan cintamu!" sambung Taufan.
Tidak ada jawaban dari Wulan, namun tangannya yang bergerak, menampar pipi Baruna dan Taufan secara bergantian hingga keduanya nampak mengaduh namun langsung tertawa.
"Apa sebenarnya yang terjadi!"
Taufan akhirnya bercerita apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua. "Apa! Kalian berkelahi dengan preman-preman pasar!" Wulan terkejut. "Baruna! Kamu memang sudah gila! Untung saja hanya dua preman dan ada yang menghentikan perkelahian! Bagaimana kalau lima atau sepuluh orang dan tidak ada yang menghentikan perkelahian?! Kalian bukannya lebam-lebam dan luka kecil lagi! Tapi bakalan masuk rumah sakit! Atau....." Wulan tidak meneruskan kata-katanya.
"Atau apa?" tanya Taufan.
"Pulang tinggal nama! Alias mati konyol!"
Baruna menyeringai. "Kalau pun kami mati, aku rasa bukan mati konyol, tapi mati terhormat, karena membela yang lemah dan yang benar!"
"Iya benar! Jika kami mati, itu mati sahid, mati di jalan yang benar! Yang mati konyol itu para koruptor! Yang menelan hak rakyat, hak orang kecil!" timpal Taufan yang kemudian mendapat acungan jempol dari Baruna.
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Dla nastolatków"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...