Sepeninggal Wulan, Taufan kembali ke pantai. Dilihatnya beberapa anak nelayan yang sedang bermain bola. Dia menangkap bola yang ditendang kearahnya dan dilemparkan kembali kearah anak-anak tersebut.
"Mas mau ikut main?" ajak salah seorang anak.
"Boleh!" jawab Taufan dan langsung bergabung dengan anak-anak nelayan tersebut dan bermain bola.
Hari pun sore, matahari sudah mulai merangkak ke peraduannya. Anak-anak menghentikan permainan bolanya dan membubarkan diri sedangkan Taufan duduk di atas pasir.
"Bagaimana bermain bolanya?" Taufan menoleh, dilihatnya Baruna yang baru saja datang dan duduk di sampingnya.
"Cukup menyenangkan. Sudah lama aku tidak bermain bola. Kamu sudah selesai membantu Pak syamsul?"
"Sudah."
Keduanya terdiam sejenak.
"Tadi aku ke rumah. Kakek sangat senang dengan lukisanmu." Taufan tersenyum. Lalu keduanya kembali terdiam. "Wulan cerita apa saja tentang aku? Kamu pasti menanyakan tentang aku padanya, kan?" tanya Baruna sambil duduk disamping Taufan.
"Kenapa kamu mau bunuh diri dengan menenggelamkan diri ke laut?" Baruna terdiam, matanya menatap ke laut lepas dengan pandangan kosong. "Dan kenapa kamu memilih untuk tinggal di kampung nelayan ini daripada di rumahmu sendiri?" Baruna menghela nafasnya. Taufan terdiam sesaat. "Aku tidak memaksamu untuk bercerita".
"Aku kehilangan arah dan pegangan!"
"Karena kehilangan papamu? Mamamu pasti shock! Setelah kehilangan suami dia akan kehilangan anak! Apa kamu tidak memikirkan apa yang akan terjadi dengannya jika kamu berhasil bunuh diri! Dan...kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanya saat ini ketika anak satu-satunya meninggalkan rumah dan tidak kembali selama berbulan-bulan setelah dia ditinggal pergi oleh suaminya! Apa kamu tidak memikirkan kalau mamamu telah kehilangan dua orang yang sangat dicintainya!"
"Itu akan terjadi jika mamamu yang mengalaminya, Fan!" Taufan menatap Baruna dengan pandangan heran dan penuh tanda tanya. "Itu tidak akan pernah dialami oleh mamaku!"
"Aku tidak tahu apa maksudmu?!"
"Karena papaku bukanlah suami yang diinginkan mamaku! Dan aku adalah anak yang dibencinya! Anak yang tidak pernah diinginkannya!"
"Apa maksudnya! Apa mamamu bukan ibu kandungmu?"
Baruna menggelengkan kepalanya. "Dia mama kandungku!"
"Apa! Lalu, kenapa bisa begitu?" Taufan merasa heran.
Baruna menghela nafasnya. Kesedihan tergambar jelas di wajahnya. "Papa yang sangat aku sayangi bukanlah papa kandungku!" Taufan memandang Baruna dengan tatapan tidak percaya. "Itu aku ketahui ketika aku lulus SMA, Om Ramadhan yang menceritakannya, setelah aku paksa!"
Baruna kemudian bercerita kalau hubungannya dengan mamanya sangat dingin, tidak seperti selayaknya seorang ibu terhadap anak kandungnya. Bahkan dapat dianggap tidak terlalu peduli, semuanya serba terserah. Untung ada papanya yang selalu memperhatikan dan menyayanginya.
"Itu terjadi sejak aku kacil, mungkin sejak aku lahir. Aku diurus oleh papaku dari hal sekecil apa pun?" Baruna terdiam sesaat. "Kamu pasti akan bertanya 'kenapa bisa begitu', iya kan Fan?" Taufan mengangguk. "Saat masih kuliah mamaku menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Namun ternyata laki-laki itu mempunyai tunangan dan sebulan lagi akan menikah. Mamaku marah karena hubungan mereka sudah terlalu jauh. Laki-laki itu meminta maaf, dia tidak mungkin meninggalkan tunangannya karena sangat mencintainya, apalagi orang tua mereka sudah berteman baik sejak muda. Mamaku bertambah marah, dia sangat membenci laki-laki itu mulai detik itu dan tidak ingin bertemu dengannya untuk selamanya." Baruna terdiam sejenak untuk mengambil nafasnya. "Hubungan mereka yang singkat dan terlalu jauh ternyata membuat mamaku hamil. Mamaku bertambah marah. Dia berniat menggugurkannya. Namun dilarang oleh kedua orang tuanya, kakek dan nenekku, dengan mengatakan jangan dosa ditambah dengan dosa, karena bayi dikandungnya tidak berdosa. Mereka mengatakan kalau akan meminta pertanggungjawaban laki-laki itu asal mamaku mau mengatakan siapa orangnya, orang tuanya dan dimana tempat tinggalnya. Mamaku bertambah marah, dia bersumpah tidak ingin melihat dan mengenal laki-laki itu dan juga keluarganya seumur hidupnya. Kedua orang tuanya bingung. Bagaimana pun mereka tidak mau putri kesayangan mereka melahirkan seorang anak tanpa suami namun juga tidak mau putri mereka menggugurkan kandungannya. Maka akhirnya mereka menemukan sebuah solusi kalau mamaku harus menikah dengan laki-laki lain!"
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Teen Fiction"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...