Senin sore. Sepulang kerja Papa langsung masuk ke kamar Taufan.
"Kamu jadi apa jika kamu seperti ini terus Fan!" Papa marah ketika dilihatnya anak bungsunya itu sedang termenung di jendela.
"Apa sebenarnya mau Papa! Aku di rumah salah! Aku di luar salah!" Taufan menjawab tanpa melihat Papa.
"Papa ingin kamu tidak membuang waktumu dengan percuma! Ingat tiga hari lagi kamu wisuda! Setelah itu kamu langsung bekerja di tempat Papa!" Taufan terdiam. "Percuma ijazahmu nanti jika kamu hanya bisa berbuat seperti ini! Menjadi orang tidak berguna!" tukas Papa sambil keluar kamar.
Taufan menghela nafasnya lalu menutup muka dengan kedua tangannya.
***
Sore hari berikutnya Taufan berdiri di dermaga kecil sambil memandang matahari sore yang mulai tenggelam.
"Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini Fan?" kata Wulan yang berjalan mendekati Taufan dan kemudian berdiri disampingnya.
"Apa matahari seperti ini yang selalu dilihat Baruna setiap sore?"
"Matahari yang sama yang juga dilihat seluruh manusia di muka bumi ini." Wulan tersenyum. "Kenapa kamu berada di sini, Fan?"
"Karena aku ingin merasakan apa yang dirasakan Baruna saat melihat matahari tenggelam."
"Lalu, apa yang kamu rasakan sekarang?"
Taufan terdiam. Wulan kemudian mengalihkan pembicaraan dengan mengatakkan kalau dia sudah membereskan barang-barang milik Baruna, memasukkannya kedalam ranselnya dan menyimpannya di dalam lemari.
"Aku akan mengembalikan barang-barang itu kepada Om dan mamanya," ujar TaTaufan.
Keduanya kemudian terdiam. Sinar surya sore membias lembut diwajah keduanya.
"Tiga hari lagi aku akan wisuda," kata Taufan kemudian.
"Oh yah? Selamat kalau begitu. Akhirnya hari itu sampai juga. Sayang Baruna tidak bisa melihatmu memakai toga." Wulan menuduk.
"Yah, padahal aku ingin dia berada di sana saat itu. Tanpanya aku ragu aku akan sampai pada saat itu." Wulan terdiam, dia tahu betul apa yang sedang dirasakan oleh Taufan. "Kamu harus datang, Lan."
"Aku?"
"Yah, kamu harus datang. Semakin tidak lengkap apa yang aku rasakan jika kamu tidak datang."
Wulan tidak menjawab.
***
Malam harinya Taufan mengendarai sepeda motor dengan ransel milik Baruna yang berisi barang-barangnya di punggungnya. Teringat saat-saat mereka bersama, berboncengan sepeda motor menyusuri jalanan Kota pada malam hari, makan sate dan gulai kambing juga menikmati wedang ronde. Dia menuju ke rumah Baruna.
Di rumah Baruna Taufan bertemu dengan Ramadhan. Ramadhan dan istrinya untuk sementara tinggal di rumah Sofi sampai kakaknya tersebut merasa tenang. Om Baruna itu langsung mengenalinya. Taufan mengatakan maksud kedatangannya dan langsung menyerahkan ransel milik Baruna yang berisi barang-barangnya. Mata Ramadhan berkaca-kaca menerimanya.
"Kamu sepertinya sangat dekat dengan Barun." Taufan menganggukkan kepala. "Apa terakhir hidupnya dia nampak bahagia? Atau bahkan sangat menderita?"
Taufan menghela nafasnya. "Dua-duanya. Dia bahagia karena menemukan hidupnya di pantai, namun juga sangat menderita, karena kehilangan papanya dan merindukan kasih sayang mamanya."
Ramadhan menghela nafasnya. "Baruna menceritakan semuanya padamu?" Taufan kembali mengangguk. "Dan terlambat bagi mamanya untuk menyadari hal itu." Ramadhan menundukkan kepalanya.
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Fiksi Remaja"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...