"Jadi ini rumahmu?" tanya Baruna ketika Taufan menghentikan sepeda motornya di depan pintu pagar sebuah rumah besar.
"Bukan! Ini rumah Papaku! Aku hanya menumpang di sini!" jawab Taufan sambil turun dari sepeda motornya lalu membuka pintu pagar dengan kunci cadangan yang dibawanya. Setelah itu mereka pun masuk. Mereka masuk melalui pintu garasi dan Taufan masuk melalui pintu garasi. Mereka disambut oleh Asti yang terbangun karena mendengar suara sepeda motor Taufan.
"Mas, tadi dicari sama ibu. Ibu sangat kuatir sampai jam segini Mas Taufan belum juga pulang ke rumah, padahal kata bapak Mas Taufan sudah pulang dari sore," ungkap Asri. Taufan menghela nafas, dia memang tidak memberi tahu Mama kalau sepulang dari kantor Papa dia akan langsung pergi. "Tadi bapak juga sempat marah-marah, Mas!"
"Sudah biasa, kan?" kata Taufan tersenyum, lalu menyuruh Asri untuk kembali beristirahat. Bersama dengan Baruna dia masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah dilihatnya Papa sedang berdiri dengan tangan terlipat didada. "Kamu akan melihat sendiri bagaimana papaku marah!" bisik Taufan kepada Baruna.
"Darimana kamu!" Papa berkata dengan nada tinggi.
Taufan baru saja akan membuka mulut ketika tiba-tiba Baruna berkata. "Maafkan saya Om, saya yang menyuruh Taufan pergi ke tempat saya!"
"Siapa kamu!" Papa menatap tajam Baruna.
"Saya Baruna, temannya Taufan. Akhir-akhir ini Taufan memang sering ke tempat saya untuk berkonsultasi tentang skripsinya. Kebetulan skripsi yang dia ambil hampir sama dengan skripsi yang pernah saya buat!" terang Baruna, Taufan menatapnya dengan senyum yang dikulum.
Papa mengernyitkan dahinya, ada rona tidak percaya di wajahnya. "Benar begitu, Taufan!"
"Kalau aku yang mengatakannya, Papa pasti tidak akan percaya!" ujar Taufan sambil berlalu dari hadapan Papa. "Ayo Bar, masuk!" Baruna yang bingung akhirnya mengikuti Taufan.
"Mari Om," kata Baruna pada Papa.
"Taufan!" teriak Papa ketika melihat Taufan berlalu begitu saja.
"Pa, apa bisa kami menjelaskannya besok saja?! Ini sudah terlalu malam. Kami sudah terlalu lelah. Papa juga pasti lelah kan?!" jawab Taufan sambil berjalan menuju kamarnya dengan diikuti Baruna.
"Ada apa ini?!" Mama muncul dari pintu kamar, dan langsung tersenyum ketika melihat anak bungsunya yang baru datang. Taufan mendekatinya dan mencium keningnya. Baruna memperhatikannya. Taufan memperkenalkannya pada Mama dan megatakan kalau malam ini dia akan menginap. Setelah itu Taufan masuk ke kamarnya diikuti oleh Baruna.
"Tak kusangka ternyata papamu tampan juga. Dia mirip denganmu," kata Baruna setelah berada di dalam kamar. Taufan yang sedang membuka lemari untuk mengambil pakaian bersih tertawa. "Apa kalian berdua selalu begitu setiap kali bertemu?"
"Begitulah, seperti yang pernah aku ceritakan padamu!" Taufan memberikan pakaian bersih kepada Baruna. "Kalau mau mandi, kamar mandinya ada di belakang."
"Tidak. Terlalu malam untuk mandi, aku hanya akan cuci muka saja. Kamu?"
"Aku juga!"
Setelah mencuci muka dan berganti pakaian bersih, Taufan dan Baruna terlelap di atas tempat tidur.
***
Baruna sarapan pagi bersama keluarga Taufan. Taufan merasa senang, tidak ada 'interogasi' atas kepulangannya yang larut malam dari Papa, yang berarti tidak akan terjadi perdebatan dan pertengkaran. Papa lebih banyak bertanya kepada Baruna tentang siapa dia, kuliahnya, kedua orang tuanya dan apa yang sedang dilakukannya sekarang. Baruna mengatakan kalau dia sudah lulus kuliah dan sekarang sedang merintis usaha kecil-kecilan! Papanya seorang dosen dan mamanya seorang pebisnis yang sukses. Taufan tersenyum dalam hati ketika Papa percaya dengan cerita Baruna.
Seusai sarapan pagi, Papa dan Mama bersiap untuk pergi ke Bandung menghadiri pesta pernikahan anak teman bisnis Papa, dan baru akan pulang hari Minggu sore.
"Seringlah main ke sini," kata Mama sambil tersenyum kepada Baruna sebelum pergi.
"Iya! Biar dia tidak keluyuran kamana-mana dan tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak berguna itu!" timpal Papa. Baruna tersenyum, sedangkan Taufan terdiam sambil mengalihkan perhatiannya ke tempat lain, dia tidak suka mendengar perkataan papanya, namun saat itu dia sedang tidak mau berdebat dan bertengkar di hadapan Baruna dan Mama.
"Tante, apa boleh aku memeluk tante sebelum pergi?" kata Baruna. Mama tersenyum, tanpa basa-basi dia langsung memeluknya. Baruna membalasnya dengan sangat erat. "Taufan pasti sangat senang dan bahagia mempunyai mama seperti Tante," ucap Baruna kepada Mama.
"Kamu juga pasti senang dan bahagia dengan mamamu," balas Mama setelah melepaskan pelukannya. Baruna tidak menjawab, dia hanya tersenyum datar.
Papa dan Mama kemudian masuk ke mobil. Beberapa saat kemudian mobil yang membawa mereka pergi meninggalkan halaman rumah.
"Kamu lihat sendiri bagaimana sikap papaku!" kata Taufan setelah mobil yag membawa Papa dan Mama sudah tidak kelihatan lagi.
"Mendengar apa yang dia katakan, papamu adalah orang yang sangat ambisius dengan keinginan-keinginannya dan dalam mengejar kesuksesan!"
"Kesuksesan dan keinginan apalagi yang ingin Papa kejar?! Dia sudah sukses dan telah memiliki segalanya!"
"Dia belum merasa bahagia. Papamu ingin anak-anaknya seperti dia, menjadi pengusaha yang sukses! Perusahaan yang besar, jabatan dan status sosial tinggi, dihormati orang dimana-mana dan harta melimpah yang tidak akan habis tujuh turunan! Itulah kebahagiaan menurutnya!"
"Itu definisi kebahagiaan menurut Papa, yang menurutnya berlaku untuk semua orang di dunia ini, padahal definisi itu pasti berbeda-beda untuk setiap orang! Termasuk untuk anak-anaknya sendiri!" Taufan menghela nafas. "Bagaimana menurut definisimu?"
Baruna tersenyum. "Kebahagiaan akan terasa ketika kita tidak mempunyai beban! Seperti contohnya kamu, Fan. Kamu pasti merasa tidak bahagia karena adanya beban skripsi dan ambisi papa-mu!"
Taufan kembali menghela nafasnya. "Apa yang kamu katakana memang benar. Tapi aku merasa beban itu hilang saat aku berada dalam pelukan Mama, melukis, berada di pantai, mendengar cerita Kakek dan saat menangkap ikan bersama ayahnya Wulan."
"Oh yah?! Jadi kamu merasa bahagia ketika bersamaku?" canda Baruna.
Taufan mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum.
***
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Teen Fiction"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...