Malam hari, Baruna yang tidak ikut melaut berjalan bersama Wulan setelah menemaninya ke rumah Haji Syukur untuk mengantarkan kerupuk pesanan. Wulan menanyakan kepergian Baruna bersama Taufan pada malam sebelumnya. Baruna pun menceritakan semuanya kecuali tentang Tamara dan Amin.Tiba-tiba Baruna meraih tangan Wulan dan mengatakan kalau dia ingin ditemani ke pantai.
"Kenapa? Kamu takut kalau berniat bunuh diri lagi?!"
"Mungkin!"
Keduanya berjalan ke pantai ditemani cahaya bulan, bintang dan lampu-lampu dari perkampungan nelayan.
"Kamu kenapa?" tanya Wulan karena melihat Baruna yang hanya terdiam.
"Tidak apa-apa." Baruna menghentikan langkahnya lalu duduk di atas pasir menatap gelapnya laut lepas yang membawa ombak dan memecahkannya di pantai. Wulan duduk di sampingnya. "Lan, boleh aku meminjam pundakmu?"
"Untuk apa!" Wulan menoleh, memandangnya dengan tajam dan curiga.
"Tenang saja, aku tidak akan berbuat apa-apa."
Wulan terdiam, lalu membiarkan Baruna menyandarkan kepala di bahunya. Mereka duduk dalam kebisuan dengan pikirannya masing-masing hanya ditemani debur ombak dan suara angin laut.
"Kamu kenapa? Tidak biasanya begini."
"Aku merindukan mereka."
"Siapa?"
"Keluargaku?"
"Kenapa kamu tidak pulang ke rumah?"
"Mereka tidak ada di sana."
Wulan terdiam, dia tahu Baruna sedang bersedih dan dia tidak mau menambah kesedihannya. Tanpa sadar dia memegang tangan Baruna yang terasa dingin. Terdengar lirih Baruna mengucapkan kata 'mama'.
Ketika udara dingin mulai menusuk tubuh, Wulan mengajak Baruna untuk pulang.
***
Hari minggu, Mama mengadakan syukuran atas kehamilan Lintang. Lintang sebenarnya menolaknya, dia akan mengadakan syukuran jika nanti usia kandungannya empat bulan namun Mama beralasan kalau syukuran tersebut hanya untuk keluarga dan sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Pada syukuran tersebut Sekar datang atas undangan Papa. Taufan mengundang Baruna. Sebetulnya Wulan pun turut diundang, namun dia tidak bisa datang karena harus membantu ibunya di warung sebab Ratri yang biasa membantu tidak bekerja karena sakit. Taufan memperkenalkan Baruna kepada kakak dan kakak iparnya, juga kepada Sekar.
"Kakak iparmu sangat ramah, sepertinya dia orang yang baik," kata Baruna setelah berkenalan dan berbicara dengan Bayu.
"Sangat baik malah. Beruntung kakakku dijodohkan dengan dia!"
"Dan Sekar?" Taufan mengangkat kedua bahunya. "Papamu rupanya mempunyai selera yang bagus dalam memilihkan jodoh anak-anaknya!" Baruna tertawa.
"Yah, aku akui papaku mempunyai selera bagus dan tinggi! Tapi masalah hati tidak bisa dipaksakan, Bar!"
"Kakakmu bisa!"
"Aku bukan dia!"
"Tapi gadis itu cantik dan menarik, Fan! Dan kelihatannya baik, juga pintar! Bodoh kamu, jika tidak mau dengannya!"
"Ah sudahlah tidak usah dibahas! Lebih baik kita makan saja sekarang!"
***
Taufan, Baruna dan Sekar makan bersama di teras belakang. Sekar menanyakan sudah sejauh mana skripsinya dan rencananya setelah lulus dan wisuda nanti kepada Taufan. Taufan menceritakan tentang skripsinya namun dia belum tahu yang akan dilakukannya setelah lulus nanti.
"Kenapa tidak bekerja di kantor papamu saja? Seribu persen aku jamin, kamu pasti akan diterima di sini!" ujar Sekar tersenyum.
"Wah, kalau Taufan bekerja bareng papanya, bisa-bisa kamu akan melihat perang dunia ketiga setiap hari di kantor!" sahut Baruna.
"Apa maksudnya?" Sekar mengernyitkan dahinya sambil memandang dua laki-laki tampan di depannya secara bergantian dengan penuh tanda tanya.
"Tidak apa-apa. Aku cuma sering tidak cocok saja dengan Papa."
"Oh iya, bagaimana dengan kalian? Aku dengar kalian dijodohkan!" ujar Baruna tiba-tiba. Taufan menyeringai sedangkan Sekar nampak malu dan wajahnya memerah.
"Itu kan hanya keinginan kedua orang tua kami saja. Betul kan, Sekar?" Taufan meminta persetujuan Sekar, namun gadis yang duduk di depannya tersebut tidak menjawab, hanya tersenyum tipis.
"Tapi kalian berdua sangat serasi dan sepertinya cocok satu sama lain!"
"Kamu jadi seperti orang tua kami saja, Bar!" ujar Taufan.
"Kalau kalian berdua merasa cocok, apa salahnya kan, jika mengikuti keinginan orang tua?" Wajah Sekar semakin bertambah merah. Baruna memperhatikannya.
"Ah sudahlah, biarlah itu menjadi masalah orang tua saja. Mereka tidak mengerti keinginan anak-anaknya. Bukan begitu Sekar?"
Wajah Sekar tiba-tiba berubah menjadi agak sedikit tegang, ada raut kecewa tersirat, dengan senyum yang dipaksakan gadis cantik itu berdiri dari duduknya. Dengan alasan mengambil minuman di dapur, Sekar pergi meninggalkan Taufan dan Baruna.
"Dia menyukaimu! Dia ingin perjodohan itu terwujud!" kata Baruna sepeninggal Sekar. Taufan tersenyum. "Dan dia tidak menyetujui perkataanmu tadi, kalau perjodohan hanya keinginan dan urusan para orang tua!"
"Aku tidak ingin menyakitinya dan membuatnya kecewa, makanya aku katakan apa yang sebenarnya aku rasakan!"
"Tapi kamu sudah menyakiti dan membuatnya kecewa!"
"Lebih baik di awal!" Taufan menghela nafasnya. "Seperti katamu, dia cantik, baik juga pintar. Pasti banyak laki-laki yang menyukainya, jauh lebih baik dari aku. Dan bukannya sudah pernah aku katakan padamu kalau perasaan tidak bisa dipaksakan!" Taufan mengambil gelas es jeruknya dan menghabiskan isinya. Baruna tersenyum. Setelah menghabiskan makanannya mereka bergabung dengan anggota keluarga lain yang sedang berbincang di ruang tengah.
***
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Teen Fiction"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...