Sabtu pagi, Taufan pergi tidak menggunakan sepeda motornya. Pak Dirman menawarkan diri untuk mengantarnya karena melihatnya kurang sehat. Namun ditolaknya.
"Tidak apa-apa pak, aku hanya kurang tidur." Taufan berbohong, sebenarnya dia merasa tidak enak badan, dadanya terasa sesak dan sakit dan tubuhnya agak sedikit lemas. Pak Dirman merasa kuatir dengan keadaan anak bungsu majikannya tersebut.
***
Cuaca sedikit mendung. Angin laut bertiup lebih kencang dari biasanya. Laut pun bergelombang lebih besar. Taufan duduk di pantai sambil memandang ke laut lepas. Ombak yang pecah di atas pasir meninggalkan buih-buih di kakinya. Dia merasa badannyan semakin lemas. Pandangan matanya kemudian diarahkan ke langit yang hitam. Dia teringat akan bayangan dan mimpinya. Lamunannya kemudian terpecah oleh sekumpulan anak-anak SD yang baru pulang sekolah yang berjalan tidak jauh di belakangnya. Taufan memperhatikan anak-anak tersebut. Mereka nampak senang dan bergembira.
"Wah! Kita tidak bisa main bola di pantai sekarang. Langitnya gelap banget. Ombaknya besar!" teriak seorang anak sambil menunjuk ke arah laut.
"Iya benar. Bapakku pasti marah kalau aku main bola di pantai saat cuaca kayak begini. Nanti aku kena jewer lagi. Bisa-bisa telingaku bertambah panjang!" kata anak lainnya yang kemudian disambut tawa teman-temannya.
"Mas jangan dekat-dekat ke laut cuaca seperti ini. Bahaya!" Salah seorang anak berteriak pada Taufan. Taufan tersenyum lalu melambaikan tangan ke arah anak-anak tersebut. Setelah mereka berlalu, Taufan melihat Wulan yang sedang berjalan ke arahnya.
"Akhirnya si anak kota datang juga! Sedang apa di sini?!" tanya Wulan, lalu duduk di samping Taufan. Gadis manis itu terkejut melihat keadaan Taufan yang nampak pucat dan terlihat lemah dengan badan yang semakin kurus.
Taufan tersenyum. Sudah dua minggu lebih, setelah acara wisuda, dia baru datang lagi ke pantai. "Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?"
"Kenapa dengan suaramu? Suaramu serak dan parau! Kamu sedang sakit Fan?!"
Taufan menggelengkan kepalanya. "Aku hanya sedikit batuk. Oh iya, bagaimana kamu tahu aku ada di sini?"
Wulan tersenyum, sambil memainkan pasir pantai dengan kakinya, mengatakan kalau dia melihatnya berjalan kaki menuju pantai.
"Mana sepeda motormu?"
"Di rumah. Aku sedang tidak ingin naik sepeda motor."
"Cuaca buruk. Orang-orang biasanya menghindari pantai, tapi kamu malah menghampirinya. Kamu tidak sedang berniat bunuh diri kan?" Taufan terbatuk, kemudian tertawa dan mengatakan kalau dia tidak mempunyai pikiran seperti itu. "Lalu, untuk apa kamu ke sini?"
"Aku rindu laut dan ingin kembali ke laut." Wulan terdiam. "Maafkan Papaku, Lan. Dia tidak seharusnya mengatakan hal seperti itu pada kamu."
Wulan tersenyum. "Aku sudah melupakannya. Aku kira wajar kalau papamu berkata seperti itu, apalagi ada calon menantu kesayangannya!" Taufan terdiam. Wulan kemudian bertanya tentang bagaimana pengalaman dan perasaan Taufan selama bekerja di kantor papanya. Taufan menceritakan pengalaman dan juga perasaanya.
"Jadi, kamu sudah berhenti jadi pelukis? Dan sekarang menjadi pekerja kantoran?" ledek Wulan.
"Aku tidak akan pernah berhenti menjadi seorang pelukis!"
Keduanya kemudian terdiam.
"Lan ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, sebelum terlambat."
"Terlambat apanya?"
Taufan hanya tersenyum. "Aku tahu Baruna mencintaimu. Dia sangat mengagumimu." Wulan terdiam. "Dan Baruna pun tahu kalau aku juga mencintaimu!" Wulan memandang Taufan dengan tatapan tidak percaya. "Aku hanya ingin tahu bagaimana perasaan kamu terhadap kami berdua."
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Teen Fiction"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...