"Ini makam papamu?" tanya Taufan, saat dia bersama Baruna berdiri di depan sebuah makam di sebuah pemakaman umum. Baruna mengangguk lalu jongkok dan berdoa di depan pusara papanya. Kesunyian mengembang, hanya terdengar suara angin yang menerpa dedaunan, suara burung-burung yang hinggap di pepohonan dan suara serangga di antara aroma wangi kamboja. Baruna membawa Taufan ke makam papanya.
***
Setelah dari makam papanya, Baruna kembali mengajak Taufan pergi ke suatu tempat.
"Bar, kita mau apa ke pasar? Mau belanja?" kata Taufan dengan nada heran ketika Baruna menyuruhnya menghentikan sepeda motornya di depan sebuah pasar.
"Aku ingin menemui seseorang di dalam pasar!"
"Aku tidak mengerti denganmu, Bar. Semalam kamu ingin bertemu dengan seseorang, ternyata 'Mbak Tamara' yang cantik!" Taufan member tanda kutip dengan tangannya ketika menyebut nama Tamara. "Dan sekarang kamu ingin menemui seseorang lagi di dalam pasar sana!" Taufan menunjuk kea rah pasar. "Orang seperti apa lagi yang akan kamu temui? Jangan-jangan orang gila pasar!" Taufan tertawa.
"Kamu lihat saja nanti!" Baruna mengajak Taufan masuk ke pasar. Sambil berjalan dia menceritakan sseorang yang akan ditemuinya. Namanya Amin, sebelumnya adalah tukang kebun di rumahnya, berumur enam tahun lebih tua darinya. Papanya dulu sangat menyayangi Amin, karena anaknya rajin, jujur dan patuh. Setelah lima tahun bekerja di rumahnya, Amin meminta ijin untuk keluar dari pekerjaannya karena mau menikah dan akan membuka usaha kecil-kecilan. Papanya menghormati keputusan Amin, lalu memberikan sejumlah uang kepada Amin untuk modal membuka usaha. Awalnya Amin menolak, namun papanya memaksa, akhirnya Amin pun menerima dan berjanji kalau uang tersebut akan digunakannya untuk membuka usaha. Tiga bulan kemudian Amin datang kembali menemui papanya dan menceritakan kalau sesudah menikah dan menyewa sebuah kios di pasar, Dia membuka toko sembako kecil-kecilan. Amin datang untuk mengucapkan sangat berterima kasih.
Tiba-tiba Baruna menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" tanya Taufan.
Baruna menunjuk dua orang laki-laki dengan tampang sangar sedang berbicara sambil berkacak pinggang dengan seorang laki-laki penjual kelapa. " Itu pasti preman-preman yang suka malak pedagang-pedagang kecil di pasar!" ujarnya.
"Bukannya sudah ada retribusi pasar yang resmi?"
"Namanya juga preman! Mana mereka mau tahu!"
"Apa tidak ada keamanan pasarnya?!"
"Preman lebih pintar dari aparat keamanan!" Baruna berkata ketus, lalu berjalan mendekati preman-preman tersebut.
"Bar! Kamu mau apa!" kata Taufan dengan nada kuatir sambil mengikuti di belakangnya.
"Preman-preman seperti itu harus diberi pelajaran!"
"Jangan cari masalah di sini!" Taufan semakin kuatir, namun terlambat, karena Baruna sudah berdiri menantang kedua preman tersebut.
"Jangan dikasih Pak!" Baruna berteriak memperingatkan penjual kelapa yang akan memberikan sejumlah uang kepada dua orang preman tersebut. Preman satu yang berbadan besar menoleh kepada Baruna dengan wajah penuh kemarahan. "Masukkan kembali uang itu Pak! Dan jangan memberikan apa pun kepada para pemalak dan pemalas yang tidak berguna ini!" Baruna menunjuk kedua preman di hadapannya. Bapak penjual kelapa itu nampak bingung dan ketakutan.
"Hei! Memangnya kamu siapa?! Anak kecil mau ikut urusan orang saja!" Preman kedua, yang berbadan ceking namun lebih tinggi dari perman satu berteriak sambil berkacak pinggang kepada Baruna.
"Tidak perlu tahu siapa aku! Lebih baik kalian pergi dan jangan pernah kembali lagi ke sini! Atau aku akan laporkan kalian ke kemanan!" ancam Baruna.
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Teen Fiction"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...