Sekitar jam sebelas siang, Taufan datang ke rumah Kakek dan bertemu dengan Baruna yang baru saja bangun tidur. Baruna tersenyum dan mengucapkan selamat atas kelulusannya.
"Tapi sebelum menerima ijazah kamu belum bisa disebut sarjana!" tukas Baruna sambil tertawa.
"Ah! Tidak penting! Yang penting sekarang aku lulus! Dan aku ingin merayakannya denganmu dan Wulan! Lihat ini!" Taufan menunjukkan bungkusan besar yang dibawanya yang berisi kue-kue yang dibelinya di sebuah toko kue. "Dan rasanya bertambah enak jika minumnya kelapa muda yang baru dipetik dari pohon."
"Seharusnya kamu merayakannnya bersama keluargamu, Fan!"
"Aku sudah merayakannya bersama mereka semalam! Dan kamu pasti sudah menebak apa yang terjadi!" Baruna tertawa. "Tapi, sudahlah! Lebih baik kamu cepat mandi, sebentar lagi si nyonya galak datang dengan membawa buah kelapa muda!"
"Kamu menyuruh Wulan memetik buah kelapa di pohon?!"
"Bukan dia, tapi aku meminta dia menyuruh orang lain!"
***
Taufan dan Baruna duduk di bangku panjang di bawah pohon kelapa di depan rumah Kakek sambil menunggu Wulan datang.
"Aku sangat berterima kasih pada pantai ini. Karena kalau tidak ke sini, aku tidak akan bertemu dengan kalian semua dan belum tentu skripsiku akan cepat selesai. Aku benar-benar berterima kasih pada kalian semua."
"Papamu pasti sangat senang."
Taufan mengangguk lalu menceritakan bagaimana Papa membawanya ke kantornya. Mama mengadakan makan malam bersama di rumah yang kemudian suasana tenang menjadi agak sedikit panas setelah mendapat telephon dari Badai.
"Papa sangat menginginkan aku bekerja di kantornya."
"Apa salahnya dicoba, Fan! Tidak ada ruginya."
"Tapi aku tidak punya passion sama sekali! Jika aku paksakan nanti yang terjadi aku malah membuat semuanya berantakan! Toh, Papa yang juga pusing kan!"
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"
Taufan menggelengkan kepalanya. "Aku belum mengatakan apa pun. Mama sedang sangat bahagia, aku tidak tega jika membuat keributan lagi dengan Papa."
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan selama ini, Fan?"
"Aku hanya ingin melukis dan melukis! Aku ingin mengajar anak-anak melukis! Aku ingin memperkenalkan dunia kepada semua orang lewat lukisan! Aku ingin bisa membuat orang bahagia dengan lukisan!"
Baruna tersenyum. "Cita-cita yang mengagumkan! Dan jujur saja, aku ingin melihatmu sebagai pelukis besar suatu saat nanti. Kamu pelukis berbakat Fan."
Taufan tersenyum, ada seuntai kebahagiaan di wajahnya. "Kamu sendiri, apa yang sebenarnya kamu cita-citakan?!"
Baruna menghela nafasnya. "Tidak ada! Aku hanya ingin membuktikan pada diriku sendiri kalau aku bisa hidup sendiri! Aku bisa berjuang untuk hidupku sendiri!"
"Kamu tidak ingin menjadi apa-apa?"
"Aku hanya ingin bisa membantu orang lain! Itu saja!"
"Kamu tidak ingin menjai dosen seperti papamu? Atau menjadi pengusaha seperti mamamu?"
"Dulu memang ingin seperti itu, tapi hasrat itu sudah hilang! Aku tidak tahu, kenapa bisa begitu. Aku sempat berpikir, jangan-jangan aku ditakdirkan untuk mati muda!"
"Hei! Jangan ngomong seperti itu!" sergah Taufan, Baruna tertawa.
Taufan kemudian bercerita kalau Papa masih menjodohkannya dengan Sekar dan mengira hubungan mereka semakin dekat, dan hal tersebut didukung oleh Mama dan Bayu. Baruna hanya tersenyum mendengarnya. Taufan kemudian terbatuk beberapa kali.
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Teen Fiction"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...