Taufan berdiri di dalam kamar Baruna, pandangannya menyapu seluruh sudut ruangan. Semua barang milik Baruna masih pada tempatnya, baik Wulan maupun Kakek belum menyentuh ataupun memindahkannya. Kemudian diperhatikannya bantal Baruna yang pernah dipakainya saat tidur di kursi depan. "Seharusnya malam ini kita pergi melaut Bar. Dan aku akan menceritakan tentang mimpiku itu." Taufan menghela nafasnya, lalu menunduk, dilihatnya sepatu kets milik Baruna yang tidak pernah dipakainya dibawah meja.
***
Sore hari ketika mengantarkan makan malam untuk Kakek, Wulan tidak melihat Taufan. Dia menanyakannya pada Kakek.
"Dimana Taufan Kek? Apa dia pulang?" Kakek mengatakan kalau Taufan pergi ke pantai. Wulan menghela nafasnya. Tanpa berkata apa-apa lagi gadis manis itu langsung beranjak pergi. Ketika melewati bangku kayu di bawah pohon kelapa, Wulan menghentikan langkahnya. Dipandanginya bangku kayu tersebut. "Aku tidak menyangka kalau malam kemarin adalah malam terahir kita duduk berdua di bangku ini Bar!" Matanya berkaca-kaca, namun sebelum airmatanya turun dia segera berlalu dan berjalan menuju ke pantai. Dilihatnya Taufan sedang duduk di atas pasir menghadap ke laut.
"Baruna sudah tenang di sana!" Wulan berkata sambil duduk di samping Taufan. Laki-laki tampan itu terdiam, matanya terus memandang ke laut lepas. "Aku menolongnya di sana!" Wulan menunjuk ke arah laut.
"Dan dia menemuiku untuk pertama kalinya di sini. Duduk di sampingku, seperti kamu saat ini." Taufan membuka suara. "Dia membuyarkan lamunanku saat itu."
"Dan dia memarahiku karena menolongnya!" Wulan tersenyum.
"Kakinya pincang saat itu."
"Keadaannya berantakan dan penuh keputusasaan."
"Dia sok tahu!"
"Aku menamparnya!"
"Dia mengajakku ke warung ibumu."
"Aku mengajaknya ke rumah Kakek!"
"Dia tidak akan lagi mengajakku melaut bersama ayahmu."
"Tidak akan pernah lagi yang mengganggu dan menggodaku dan tidak ada lagi yang aku panggil dengan si anak bengal!"
Keduanya kemudian terdiam, berkelut dengan pikirannya masing-masing. Tatapan mereka lurus ke arah laut.
"Laut menjadi sepi tanpa dia!" kata Wulan.
"Andai saja, saat ini dia datang dengan perahu itu," gumam Taufan lirih.
Wulan menoleh ke arah Taufan. "Perahu? Perahu apa?"
"Tidak. Bukan apa-apa!"
Keduanya kembali terdiam.
"Siapa gadis itu?" tanya Wulan tiba-tiba.
"Gadis yang mana?" Taufan balik bertanya tanpa menoleh.
"Gadis cantik yang bersamamu saat di rumah sakit dan di pemakaman Baruna."
"Oh dia. Namanya Sekar,gadis yang dijodohkan denganku!" kata Taufan tanpa basa basi.
"Oh yah!" Wulan nampak terkejut menatap Taufan.
"Tepatnya dijodohkan oleh orang tua kami."
"Dia cantik dan sepertinya dia gadis yang baik. Melihatnya sekilas kelihatan kalau dia gadis yang pintar dan berpendidikan tinggi. Hanya laki-laki bodoh yang tidak menyukai dia!"
"Baruna pun mengatakan hal yang sama. Namun perasaan tidak bisa dipaksakan."
Taufan merogoh kantung celana panjangnya, mengambil seuntai kalung dari kulit kerang berwarna coklat dan menyerahkannya pada Wulan. "Ini untukmu dari Baruna.".
YOU ARE READING
DAN LAUT PUN MENJADI SUNYI
Roman pour Adolescents"Taufan! Kamu mau ke mana!" teriak Papa. Taufan yang memakai jaket biru, kaos putih dan bercelana jeans biru tidak menghiraukannya, terus berjalan ke tempat sepeda motor sport yang terparkir di samping mobil sedan dan langsung menaikinya. "Taufan...