part 3

624 18 1
                                    


Lebih dari 3 minggu sudah Iqbal dinas ke Merauke. Kepulangannya tertunda karena pesawat yang harusnya mengangkut mereka pulang ternyata mengalami trouble.

Perjalanan pesawat lebih dari 5 jam, dengan 2 kali transit sungguh melelahkan. Sampai di bandara militer, truck pengangkut sudah menunggu. Apel kedatangan pasukan dilaksanakan di depan kompi, dilanjutkan pengecekan dan pengembalian senjata.

Bau pengap rumah langsung menyeruak saat Iqbal membuka pintu. Lantai yang berdebu dan tumpukan baju di kasur yang belum sempat dilipat menambah kesan rumah kotor dan berantakan. Tak ada pelukan istri yang menyambutnya pulang, belum ada teriakan anak yang heboh melihat ayahnya pulang dinas luar.

Iqbal lelah, namun memaksakan untuk membereskan dan membersihkan rumahnya terlebih dahulu sebelum mandi dan istirahat.

**********

Weekend tiba, waktunya Iqbal untuk pulang. Jumat sore setelah mengantongi surat IB, Iqbal berangkat dengan naik bis patas.
Meski lelah, namun mata Iqbal sulit terpejam.
Iqbal menatap jendela kaca, pikirannya menerawang jauh.

Sudah setengah tahun dia menjalani LDM dengan istrinya. Masih harus bersabar setahun lagi, rasanya entahlah. Apalagi jika Iqbal teringat peristiwa sebulan yang lalu sesaat sebelum Iqbal berangkat dinas luar.

Iqbal teringat, kala itu Iqbal hanya libur sehari. Namun kerinduan yang mendalam pada istrinya membuat Iqbal ingin pulang meski cuma sebentar. Iqbal pulang mendadak tanpa sempat memberi kabar.

Pukul 21.00 Iqbal berangkat, sampai di rumah orangtua Iqbal sekitar pukul 01.30. Iqbal memutuskan istirahat dulu, besok pagi baru ke rumah mertuanya.

Sampai di rumah mertuanya, ternyata hanya ada si Mbok saja, pembantu di rumah Ririn. Papa Ririn sedang ada praktek di rumah sakit, mama Ririn seperti biasa menunggu butik miliknya. Ririn saat itu sedang ada praktek, kata si Mbok kalau jaga malam biasanya pulangnya jam 8 pagi. Iqbal menunggu sambil tiduran di kamar setelah meminum kopi buatan si Mbok.

Hampir 2 jam Iqbal menunggu, perutnya sudah lapar karena tadi belum sempat sarapan. Niatnya Iqbal mau mengajak Ririn makan diluar. Tak lama akhirnya Ririn pulang. Terkejut Iqbal saat melihat istrinya pulang diantar seorang lelaki muda dengan mobil sedan warna hitam. Iqbal marah dan cemburu, namun untungnya Iqbal masih bisa mengontrol emosinya. Iqbal semakin yakin harus mengajak istrinya ikut tinggal dengannya.

"Rin, darimana kamu tadi?" Tanya Iqbal. Hatinya penuh rasa marah tapi tidak dia tampakkan.

"Mas kapan datang? Katanya habis giat terjun kemarin nggak bisa pulang?" Ririn terkejut.

"Tadi pagi. Kamu darimana?"

"Ririn baru pulang dari praktek. Kan Ririn kemarin sudah bilang kalau kena jaga malam. Mas sudah nunggu dari tadi kah? Sudah sarapan belum? Biar Ririn suruh Mbok siapin sarapan buat Mas." Ririn bergegas meletakkan tasnya.

"Nggak usah, aku masih kenyang. Biasanya kamu pulang jam 8, mampir kemana? Siapa laki-laki tadi?" Iqbal mulai interogasi Ririn.

"Iya, Ririn tadi mampir makan dulu sama teman-teman. Ririn nggak bawa kendaraan, soalnya tadi malam mobil dipakai mama. Jadi tadi Ririn sama teman-teman diantar pulang Dimas, koas yang sedang praktek juga disana." Ririn menjelaskan.

Deg.... Seorang lelaki muda, calon dokter, punya mobil mewah. Iqbal menahan rasa cemburunya.

"Kamu kan sudah punya suami, Rin. Kurang pantas rasanya kamu pergi dengan lelaki lain. Kamu juga tidak minta ijin dulu sama aku sebagai suamimu."

"Mas, kami pergi nggak cuma berdua, tadi sama 2 orang teman Ririn juga. Cuma mereka sudah turun duluan. Lagipula aku sama Dimas cuma kenalan biasa kok, namanya juga sesama praktikan, saling membantu itu sudah biasa." Ririn mulai sewot. Nafasnya naik turun menahan amarah.

"Iya, tapi kamu kan bisa bilang dulu sama aku kalau kamu mau makan-makan sama teman-teman. Aku ini suamimu, Rin. Tolong kamu hargai aku."

"Aku nggak sempat pegang hp. Aku juga mana tahu Mas pulang hari ini."

"Meskipun aku nggak pulang, aku berhak tahu kegiatanmu disini. Kamu itu istriku, Rin. Kamu harus selalu minta ijin sama suamimu!" Iqbal mulai meninggikan suaranya.

"Haduh, udah dech Mas. Aku capek, belum mandi juga." Kata Ririn sambil berjalan cepat menuju kamar mandi.

Iqbal terdiam di pinggir kasur, tak habis pikir dengan sikap istrinya. Susah sekali Ririn memahami bahwa Ririn saat ini sudah berstatus sebagai seorang istri, yang wajib mematuhi perintah suaminya. Iqbal juga tidak menyuruh Ririn berbuat maksiat. Ririn sama sekali tidak bisa menghargainya.

"Lagian ya, Mas, Ririn nggak pernah macam-macam kok. Mas juga memberi kebebasan Ririn berteman sama siapa saja kan selama ini. Kenapa sekarang mas ribut-ribut?" Lanjut Ririn saat selesai mandi.

"Rin, bebas bukan berarti kamu bisa seenaknya sendiri. Kamu harusnya tahu sendiri batasnya, pikirkan baik-baik perbuatanmu itu menyakiti suamimu atau tidak." jawab Iqbal

"Menyakiti darimana??? Ririn cuma berteman kok." Ririn tetap tidak mau kalah.

"Rin, ayo ikut tinggal sama Mas saja!" Bujuk Iqbal.

"Apa?? Ya nggak bisa begitu, Mas. Ririn belum selesai kuliahnya. Kasihan mama papa kalau Ririn berhenti kuliah sekarang." Ririn menolak.

"Mas maunya kita tinggal serumah, Rin. Kalau seperti ini terus, rumah tangga kita nggak bisa tenang. Bagaimana kita bisa saling mengenal karakter pasangan lebih dekat kalau kita ketemu saja 2 minggu sekali, itupun kalau Mas ada libur. Enam bulan kita berjauhan lebih sering bertengkarnya daripada mesranya. Beda sama dulu waktu kita tinggal bersama." Iqbal berkata pelan.

"Mas itu harusnya bersyukur, disini semua kebutuhan Ririn dipenuhi sama Papa, kuliah Ririn juga Papa yang bayar. Uang jatah bulanan dari Mas buat Ririn cuma Ririn terima separuhnya, sisanya kan Ririn tolak dan Mas bilang mau dikasihkan buat Ibu saja. Ririn nggak keberatan. Jadi Mas jangan egois seperti ini." Ririn makin emosi.

"Justru itu, Rin. Mas pengen kita mandiri. Susah senang kita tanggung bersama. Kewajiban Mas buat nafkahin kamu, Rin. Bukan lagi kewajiban orangtuamu. Mas nggak mau merepotkan papa mama lagi." kata Iqbal.

"Nggak perlu sok-sok an seperti itu. Mas nikahin aku dulu memangnya punya modal apa?" Tanya Ririn bernada ejekan.

**kelanjutan pertengkaran mereka ada di part 1 ya**

*********

Iqbal tersadar dari lamunannya saat kondektur bis menepuk bahunya untuk menarik ongkos bis.

Ah, Ririn... Sesulit itukah kamu memahami keinginan suamimu?

*************

Ririn menjemput Iqbal di terminal pukul 22.00. Kali ini Iqbal menuju rumah Ririn terlebih dahulu. Karena bapak ibu sedang ada acara keluarga di luar kota. Pulangnya baru besok sore.
Lalu mereka jalan-jalan sebentar sambil cari makan. Tertawa, becanda, bermesraan layaknya sejoli sedang kasmaran. Malamnya, Iqbal dan Ririn saling melepas rindu dan hasrat yang terpendam. Lalu mereka sama-sama terlelap dalam mimpi yang indah, seakan lupa pada permasalahan yang mereka hadapi. Betapa damai hati Iqbal dapat tidur dalam pelukan istri yang dicintainya. Saat menutup mata hingga membuka mata lagi hanya istrinya yang pertama dia lihat. Andai bisa seperti ini setiap hari...

Sebelum subuh, Iqbal terbangun lalu segera mandi junub. Selesai mandi, Iqbal membangunkan istrinya agar lekas mandi juga. Adzan subuh berkumandang.

"Rin, bangun! Sudah subuh. Buruan mandi terus sholat. Mas mau ke masjid dulu." kata Iqbal.

"Iya, sebentar lagi Ririn bangun." kata Ririn setengah sadar.

Pulang dari masjid ternyata Ririn masih tidur. Iqbal membangunkan istrinya dengan sedikit paksaan. Iqbal usap wajah Ririn dengan tangannya yang basah. Ririn kaget, lalu segera bangun sambil manyun dan malas-malasan menuju kamar mandi.

Iqbal mengaji sebentar sambil menunggu istrinya yang sedang mandi. Tiba-tiba HP Ririn bergetar. Ada misscalled, sekilas Iqbal baca, tertera nama "Koas Dimas" disana.

Lalu Iqbal buka HP itu, ada sebuah pesan.

[Rin, jangan lupa nanti malam kamu jadwalnya jaga bangsal, kalau mau berangkat bareng kabari aku ya 😘] ----- Koas Dimas

Mendidih rasanya hati Iqbal.

DILEMA CINTA IQBAL (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang