Sadewa menarik napas panjang setelah menerima amplop putih dengan logo sekolahnya dari guru konselingnya.
"Sadewa, saya mempercayai kamu." Kalimat dari guru konseling muda bernama Damar itu membuat Sadewa mendongak, mencoba menatap satu-satunya orang yang berani mengatakan itu.
"Saya tahu kamu bingung, tapi amplop putih itu akan menjadi awal semuanya, saya di belakang kamu dan saya tahu kamu tidak melakukannya."
"Saya melakukannya." Sadewa memilih berdiri, mencoba tidak peduli dengan semua kalimat Damar –guru konseling sekolah- yang terasa menggelikan di telinganya. Sejak awal, Sadewa sudah siap dengan resiko yang akan dia hadapi.
"Hukuman paling ringan adalah skorsing dan paling berat adalah Drop Out. Katakan kebenaran itu, Sadewa." Damar tidak menyerah, dia tidak mungkin membiarkan Sadewa menanggung resiko atas perbuatan yang bahkan tidak dilakukan oleh Sadewa sendiri.
Sadewa memilih tidak peduli, kakinya dengan mantap keluar dari ruangan konseling sembari menggenggam erat amplop putih di tangannya. Sepanjang koridor, semua orang membicarakannya, namun Sadewa mencoba untuk menjadi tuli. Sadewa hanya perlu bertahan sedikit lebih lama, dia sudah memutuskan untuk menanggung resiko atas keputusan fatalnya, tapi ini adalah yang terbaik untuk semuanya. Sedikit berkorban rasanya tidak masalah. Suara bisikan itu kini sudah menyerupai dengungan nyamuk di telinga Sadewa, langkahnya terasa berat meskipun pada faktanya, bisikan-bisikan itu bukanlah suatu kebenaran. Sadewa mengerti kebenaran itu, tapi dia sangsi dengan reaksi orang-orang.
Sadewa semakin kuat menggenggam amplop di tangannya, mencoba menjadi tuli hingga dia berhenti tepat di teras rumahnya, amplop dari Damar bahkan belum sampai ke tangan bapak, tapi teman-teman OSIS sudah menghadap Bapak yang terlihat kecewa dan Ibu yang menangis tersedu. Sadewa sudah kalah telak dari awal, sehingga bahkan kebenaran yang akan dia bawa tidak akan lagi berguna, sebab dua orang yang dia yakini akan mempercayai kebenaran yang dibawanya kini sudah terkikis rasa percayanya.
Tidak.
Bahkan Sadewa berani mengatakan bahwa kepercayaan Bapak dan Ibu kepadanya sudah lebur tak bersisa.
Sebuah tamparan keras dari Bapak dan diamnya Ibu semakin menambah keyakinannya, lantas Sadewa hanya pasrah saat orang-orang yang selama ini menjadi partner kerjanya menatapnya tajam dan penuh intimidasi. Sadewa meremat kuat amplop putih di tangannya, lantas mendongakkan kepalanya dengan gagah, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar.
"Ya. Aku melakukannya, aku yang menggelapkan dana OSIS dan iuran jaket kelas, aku mengakui dan aku bertanggung jawab, aku akan melunasinya, tapi kumohon jangan datang lagi ke rumah, karena bahkan bapak dan ibu tidak ada sangkut pautnya dan tidak tahu apa-apa."
"50 juta dalam waktu satu bulan." Arfin selaku wakil ketua OSIS menatap tajam mata Sadewa, sedangkan Sadewa menghela napas panjang kemudian menganggukkan kepalanya mantap.
"Ya. Silahkan keluar dari rumahku sekarang."