Pandu menghela napas panjang, menatap Nakula yang terlihat murung, setelah Sadewa mengungkapkan sebuah fakta pandu dilanda dilema berkepanjangan.
"Kenapa? ada masalah? atau merasa bersalah?" Pandu tidak paham dari mana datangnya nada dingin dan kalimat yang menusuk itu, dia hanya tiba-tiba merasa muak.
"Aku nggak bahagia." Nakula menghembuskan napas panjang, dia masih ingat bagaimana tadi malam tiba-tiba Bima mengutarakan sebuah permintaan yang sulit.
"Kenapa?"
"Hanya tidak merasa bahagia."
"Kamu tahu? hati manusia hanya mengerti soal kebaikan dan kebenaran, jika yang dilakukan pemilik hatinya adalah kesalahan, maka hati itu gelisah dan pemiliknya menjadi tidak bahagia." Pandu menghela napas panjang, kemudian menatap Nakula yang terlihat termenung.
"Aku udah nggak paham lagi apa yang sebenarnya kamu inginkan, aku capek ngadepin kamu yang keras kepala gini, kemarin kamu bahagia buat Sadewa jatuh, terus sekarang nggak bahagia, jadi apa yang buat kamu bahagia?" Pandu menghela napas panjang, lantas mencoba memalingkan wajah, dia tidak mau terbujuk wajah memelas Nakula .
"Tidak ada kata bahagia saat kita membenci saudara kita sendiri, Pan."
"Bukan itu, bukan hanya tentang membenci saudara. Saat kamu iri, saat kamu marah, saat kamu membenci dan saat kamu berusaha membuat orang lain terluka demi kata bahagia yang kamu impikan, di situ kamu tidak akan pernah menemukan kata bahagia." Pandu menarik napas panjang.
"Karena kita, tidak akan pernah bisa menyamakan standar bahagia, kehidupan dan takdir manusia berbeda-beda, begitu pun dengan caranya bahagia dan bagaimana menjadi manusia yang bahagia." Pandu berbalik menatap Nakula yang tengah menunduk dalam.
"Kamu tahu kenapa Sadewa punya sahabat seperti Arfin? disegani banyak orang, disayang guru, memiliki banyak kenalan? karena Sadewa tidak pernah terbersit sedikit pun untuk iri, untuk marah dan untuk benci dengan takdirnya, sebanyak apa pun kamu melukainya, dia tidak pernah sekali pun mencoba melukaimu kembali. Sadewa bahagia dengan caranya dan kamu tidak akan pernah bisa menyamai caranya, kalian mungkin kembar identik, tapi kalian tetap dua manusia dengan karakter berbeda."
Nakula mendongak, menatap pandu yang tengah menatapnya begitu tajam, semuanya terdengar mudah namun Nakula sudah terlalu basah, sudah terlalu dalam, rasanya tidak ada kesempatan.
"Bukankah, sekarang Sadewa terlanjur tidak bahagia?" Nakula menggigit bibir bawahnya, masih mengingat percakapan gila karena keinginan obsesif Bima.
"Ya. Karena dia melukai hati Bapak dan Ibu kalian dan karena dia berusaha membuatmu kembali merasa kesepian. Bukan untuk membuatmu terlihat menyedihkan, tapi juga untuk mengingatkan bahwa hidupmu sudah bahagia tanpa kamu sadari sendiri."
"Pan, apa yang harus aku lakukan? Mas Bima sudah terlalu jauh, begitu pun denganku, Mbak Sri juga, rasanya sulit untuk kembali."
"Bukan kembali, tapi mengubah arah itu menuju jalan yang benar dan yang seharusnya, kalian hanya butuh saling berbicara dan memahami." Pandu kemudian memilih bangkit dari posisinya, meninggalkan Nakula yang termenung sendirian.
"Oh iya, Arfin sama Pak Damar sedang menyelidiki kasus Sadewa, aku juga ikut di dalamnya. Satu hal yang harus kamu tahu lagi, bahwa jika kamu membuat orang lain merasa bahagia,maka mereka yang sudah kamu bahagiakan tidak akan membiarkanmu mengalami kesulitan."
TBC