Damar menghembuskan napas panjang saat mengamati para siswa di sekolah yang terlihat tenang meskipun sebenarnya Damar sangat paham kalau mereka masih membicarakan kasus yang baru-baru ini terjadi.
Memang, baru 5 tahun dia berada di sekolah ini sejak pertama kali dia mendapatkan tugas, namun baru kali ini dia mendapatkan kasus yang unik. Damar menghentikan langkahnya menuju ruang kepala sekolah saat seseorang mencekal lengannya.
"Pak, Sadewa tidak bersalah karena ini semua adalah perbuatan Nakula. Saya tahu saya tidak memiliki bukti, tapi saya tidak mau sahabat saya berada di jurang penyesalan hanya karena perselisihan sederhana antar saudara." Damar mengernyitkan dahinya karena heran menatap siswa yang dia ketahui sangat dekat dengan saudara kembar Sadewa, yaitu Nakula.
Damar ingat, nama siswa di depan nya adalah Pandu, satu-satunya orang yang berada di sisi Nakula, saudara kembar identik Sadewa yang terkenal dengan kenakalannya.
"Apa maksud kamu?" Damar mencoba mencari tahu, menatap Pandu yang memijat pelipisnya pelan.
"Pak. Sadewa tidak bersalah karena Nakula yang bersalah di sini. Saya tidak memiliki bukti tapi Nakula adalah satu-satunya bukti." Pandu menatap Damar lekat-lekat, dia lelah menahan semua kebenaran ini sendirian.
"Saya percaya sama kamu dan Sadewa juga sudah menceritakan semuanya, tapi masalah ini bukan masalah kecil yang bisa diselesaikan dengan permintaan maaf, ini menimbulkan kerugian materi sekaligus mencemarkan nama baik. Mari kita ikuti alurnya terlebih dahulu, saya harus ke ruangan kepala sekolah, saya akan melakukan semua hal yang saya bisa."
"Pak! Sadewa tidak bersalah, Nakula juga tidak. Ini hanya soal komunikasi. Ini hanya soal berbicara." Pandu menarik napas panjang, walau bagaimana pun Nakula tidak benar-benar bersalah dalam hal ini.
"Pandu ... kita ikuti alurnya terlebih dahulu, pelan-pelan. Satu hal yang harus kamu tahu bahwa hati manusia itu murni, nurani manusia hanya memahami kebenaran hakiki, sehingga saat melakukan sebuah kesalahan hati manusia gelisah, cepat atau lambat, bagaimana pun nanti Nakula akan mengakui kesalahannya." Damar menepuk pundak Pandu beberapa kali, lantas melanjutkan langkahnya menuju ruang kepala sekolah.
Hari ini adalah sebuah awal dari semuanya, Damar hanya perlu mengusahakan yang terbaik untuk semuanya.
___
"Jadi begini ... seperti yang Bapak dan Ibu tahu bahwa Sadewa itu adalah Ketua OSIS di sekolah ini Sadewa juga murid berprestasi dan penerima beasiswa berprestasi yang diadakan sekolah." Pria yang sudah beranjak pensiun itu menghela napas panjang, jujur saja ini terlalu berat untuknya.
Tahun terakhirnya menjadi kepala sekolah sekaligus guru menjadi tahun terberatnya selama ini, dengan kasus rumit yang dia sendiri tidak ingin percaya.
Bapak, Ibu dan Srikandi sendiri hanya diam, mereka baru tahu jika Sadewa adalah Ketua OSIS di sekolahnya dan murid berprestasi, selama ini selalu Bima yang mengambil raport si kembar di sekolah karena Bapak, Ibu dan Srikandi sibuk bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga yang sepertinya tidak pernah cukup.
"Tapi, sayangnya semua hal baik itu langsung terkubur karena kasus ini. Sadewa menjadi pelaku utama penggelapan dana OSIS dan dana iuran jaket kelasnya, untuk bukti dan lain sebagainya sendiri semuanya sudah ada, saksi-saksi juga sudah mengklarifikasi hal ini, tapi kami belum mendapatkan pengakuan dari Sadewa sendiri." Kepala sekolah menghela napas panjang, melirik Damar yang terlihat tenang di tempatnya dan wali kelas Sadewa yang terlihat pasrah.
"Kemarin Sadewa sudah mengakuinya dengan tegas. Dia juga akan tanggung jawab dan meminta kami untuk tidak ikut campur dengan urusannya, kami memasrahkan semua keputusan kepada sekolah dan kami tidak akan ikut campur dengan itu, Sadewa bersalah dan itu tidak bisa dielak lagi, silahkan, kami lepas tangan." Srikandi berbicara mewakili suara bapak dan ibu, wanita yang menjadi salah satu pegawai di sebuah minimarket itu baru saja akan beranjak berdiri saat wali kelas Sadewa juga ikut berdiri.