Arfin tersenyum lebar saat mendapati Pandu duduk sendiri di kelas, hari memang masih sangat pagi namun tidak mengurangi semangatnya, sekali pun semalam waktu tidurnya kurang karena rasa khawatirnya kepada Sadewa.
"Pan." Arfin menarik napas panjang, mencoba tersenyum selebar mungkin. Semalam, saat Sadewa masih tenggelam dalam alam bawah sadarnya, dia sudah berdiskusi mengenai hal ini bersama Arjuna dan Srikandi.
"Kita temui Pak Damar, Bu Rini dan Pak Kepsek sekarang juga."
"Ada apa?" Pandu menyahut dengan lemas, entah kenapa dia mulai merasa kehilangan Nakula, merindukan Nakula yang kemarin membolos begitu saja dan sekarang malah belum kelihatan batang hidungnya.
"Aku udah nemu bukti yang mana bukti ini adalah bukti terkuatnya." Arfin berkata dengan mantap, lantas langsung menarik lengan Pandu tanpa memberi kesempatan kepada Pandu untuk menolak. Pandu mengalami perang batin, rasanya jika kenyataan itu terkuak, bagaimana Nakula akan menghadapi dunia dengan semua penghakiman manusia yang terkadang kejam.
"Fin, aku mundur."
Kalimat Pandu tentu saja membuat Arfin menghentikan langkahnya dan menatap Pandu dengan tatapan heran.
"Kenapa?"
"Aku nggak tega kalau habis ini Nakula yang akan mendapatkan tatapan tajam dari anak-anak, kamu tahu sendiri gimana kejamnya mereka pas Sadewa dulu, kesalahan Nakula kali ini lebih fatal."
"Kamu mau jadi sahabat yang baik buat Nakula kan? Saat ini, dia bersalah dan saat salah memang harus disalahkan, bukan dibenarkan apa pun kesalahannya. Saat dia sudah mengakuinya, saat dia sudah terbukti memang bersalah, kita emang nggak bisa mencegah orang-orang buat nggak nyudutin Nakula, tapi sebuah kesalahan yang diakui dengan berani akan mendapat pandangan beda dari orang lain."
"Pan, kamu mau bantu kan?"
"Tentu. Atas nama persahabatan."
Arfin mengulaskan senyumannya, mencoba meyakinkan Pandu tentang keputusan yang akan mengubah segalanya.
Kedatangan mereka disambut baik oleh Damar dan Rini, kabar bahagia yang membuat Rini menangis haru dan Damar yang menghela napas lega. Kepala sekolah juga tidak lupa meneteskan air mata haru, rasanya lega sekali saat semuanya sudah selesai. Sekarang, yang menjadi tugas Pandu dan semua orang di sekitar Nakula adalah menemani Nakula mengakui semuanya.
_____
Sadewa berdecak saat ibu mendorong tubuhnya saat ingin membantu ibu menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak menjadi menu spesial.
"Bu, Sadewa udah sangat sehat, semalem cuma capek aja."
"Capek sampe mimisan?" Ibu berkacak pinggang, menatap Sadewa yang wajahnya masih terlihat pucat.
"Mas Juna juga bilangnya gitu kan? aku cuma terlalu capek. Biar Sadewa aja ya, Bu." Sadewa mengeluarkan mata memelasnya membuat ibu menyerah pada akhirnya.
"Oke, tapi ibu tetap bantu kamu dan kalau kerasa pusing lagi harus langsung istirahat."
"Siap, Bu." Sadewa menunjukkan cengirannya, membuat ibu gemas dan mencium wajah Sadewa dengan gemas membuat Sadewa tertawa karena merasa geli dan malu.
Ibu tersenyum, rasanya melegakan sekali melihat putra bungsunya terlihat bahagia.
"Bu, setelah ini Nakula sama Mas Bima bakal butuh support yang banyak kan?"
"Iya, Le. Setelah semuanya selesai, kita perbaiki bareng yaa."
"Bu, Sadewa sayang banget sama ibu."
"Ibu juga sayang banget sama Sadewa, makasih yaa, Le."
_____
Dari kejauhan, bapak merangkul bahu Nakula kuat-kuat, melihat ibu yang sedang bergembira mengikuti Sadewa dan sesekali berhasil mendaratkan ciuman di wajah Sadewa. Bapak menepuk pundak Nakula, menyadarkan Nakula dari lamunannya.
"Le, setelah semuanya baik-baik saja, kita bakal bangun suasana baru lagi."
"Pak, kenapa bapak nggak marah, bapak kelihatan marah banget waktu Sadewa dituduh."
"Sadewa yang buat bapak nggak marah, baik sama kamu mau pun Bima. Sadewa udah jelasin semuanya, tentang apa yang sebenarnya kalian inginkan dan alasan kenapa kalian melakukannya."
"Maafkan kami."
"Tidak perlu, karena bagaimana pun kami juga turut andil dalam kesalahan yang kalian perbuat, karena anak tidak akan pernah gagal untuk meniru orang tuanya bukan?"
"Pak, Bu. Terimakasih sudah membesarkan Sadewa dengan begitu baik, sehingga memiliki pribadi luar biasa."
"Tidak, Nak. Kita membesarkan Sadewa bersama-sama, secara tidak langsung kalian juga mendidiknya untuk menjadi manusia yang kuat dan pantang menyerah."
"Pak, apakah Nakula akan siap untuk mengakui semuanya besok?"
"Masih ada satu hari,Le. Selalu ingat, ada Bapak, Ibu, Mbak Sri, Mas Bima, Pandu dan Sadewa yang ada di belakang kamu. Kita bawa Sadewa ke sekolah lagi yaa."
"Nakula nggak sabar makan siang di kantin bareng Sadewa."
"Kamu sembuh dulu, biar kalian sama-sama sembuh, biar ibumu nggak ngganduli Sadewa terus. Kamu siap ketemu Sadewa?"
"Nakula siap, tapi apakah Sadewa sudah siap?"
"Justru dia menunggu saat ini datang, besok pagi kita ke rumah sakit dan beri dukungan buat Bima, itu usul Sadewa." Bapak merangkul bahu Nakula, rasanya bahagia sekali bisa melihat anak-anaknya akur, bahkan meskipun bapak dipecat karena mangkir beberapa hari. Keluarganya lebih penting dari pada pekerjaan yang sudah bertahun-tahun membantunya menghidupi keluarganya.
Bapak merangkul Nakula untuk mendekat, menyapa Sadewa dan ibu yang sibuk berdebat karena ibu memang sedang ingin memperlakukan Sadewa seperti bayi.
"Assalamualaikum, ada yang bisa kami bantu?" bapak menyapa dengan riang, yang langsung direspon Ibu dengan laporan bahwa Sadewa nakal. Nakula berdiri canggung, rasanya sudah lama tidak sedekat ini dengan Sadewa.
"Bapak tolong jauhkan ibu dari Sadewa, Nakula biar bantu aku beres-beres, ibu diam aja oke?"
Sadewa mengerlingkan matanya, menarik lengan Nakula tanpa canggung dan hari itu menjadi hari yang menyenangkan bagi ibu karena ibu tidak bisa menahan untuk tidak gemas dengan tingkah anak kembarnya yang sedang akur.
Apalagi saat pelanggan mulai berdatangan dan mereka menjadi kewalahan. Ibu dan bapak sendiri tidak paham, bagaimana Sadewa membuat kedai kecilnya begitu ramai dan menghasilkan omzet yang lumayan setiap harinya.
TBC