Srikandi menghela napas panjang saat mendapat laporan kalau Bima baru saja collapse dan sekarang tengah dibuat istirahat. Srikandi memilih meletakkan makanan yang tadi sudah disiapkan ibu di meja yang terletak di samping ranjang, kemudian menatap kesekeliling yang terasa sepi.
Srikandi menghela napas panjang, rasanya menjadi hampa sekarang, setelah menangis begitu hebat di pelukan ibu, Srikandi merasa lebih ringan, semua bebannya seolah sudah terangkat meskipun hanya berupa air mata. Srikandi menoleh saat mendengar suara pintu terbuka, senyumnya mengembang saat melihat sosok perawat laki-laki yang merupakan kekasihnya.
"Ada kamu, Sri. Bima bilang belum ada yang datang hari ini, walaupun tadi aku lihat Nakula siih di taman."
"Nakula kan harusnya masih di sekolah, Mas." Srikandi mendekati troli yang dibawa Arjuna -kekasih Srikandi- mengambil baskom berisi air hangat yang akan digunakan untuk menyeka tubuh Bima.
"Mungkin bayanganku, tapi bukan cuma aku yang bilang." Arjuna menghela napas panjang, membantu Srikandi menyeka bagian tubuh Bima.
"Entahlah, Mas. Sejak permasalahan yang menimpa Sadewa, semuanya harus bekerja keras. Aku aja baru lihat Bapak siang ini, Ibu yang dua minggu belakangan kelihatan sakit dan putus asa entah kenapa tadi terlihat sangat bahagia." Srikandi menghela napas panjang, sesekali membelai lembut pipi Bima yang terlihat tirus.
"Sadewa apa kabar? belum ketemu?" Arjuna mencoba memancing pertanyaan mengenai Sadewa, inginnya menceritakan apa yang terjadi dengan Sadewa dan bagaimana Sadewa selama 2 minggu bersamanya.
"Entahlah, sebenarnya aku khawatir, tapi keadaan nggak memungkinkan aku buat ikut nyari, kamu udah ada kabar tentang Sadewa?" Srikandi menghela napas panjang, masih ingat rasa sesak yang dia rasakan saat tahu Sadewa meninggalkan rumah.
"Mungkin nggak sekarang dan nggak di sini, pada intinya, sehari sebelum Bima dibawa ke sini, Sadewa ada di sini." Arjuna menjawab dengan berat hati, rasanya tidak bisa ditahan lagi menahan ceritanya sendiri.
"Oke, nanti mungkin bisa ngomong kalau kamu udah selesai shiftnya." Srikandi menghela napas panjang kemudian membereskan segala sesuatu yang sudah selesai kemudian menggenggam tangan Bima yang terkulai dan terasa dingin.
"Mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi sepertinya penyebab Bima collapse kali ini adalah Nakula." Arjuna menggigit bibir bawahnya, menunggu reaksi Srikandi yang tengah fokus menatap wajah pucat Bima.
"Jun, kalau boleh jujur aku benar-benar nggak paham sama isi hati Bima, Nakula, dan Sadewa. Setiap hari aku sibuk sama kerjaan aku, kadang juga ambil lembur, beberapa lembar kusimpan untuk tabungan persiapan rumah tangga kita, selebihnya aku serahin ke ibu buat bayar biaya perawatan Bima, di saat bersamaan aku juga dituntut buat ngawasin adik-adik aku karena Bapak dan Ibu bekerja lebih keras dari aku, kami jadi jarang berbicara, aku hanya menerima laporan dari Bima karena hanya Bima yang masih bisa berkomunikasi dengan Nakula dan Sadewa." Srikandi menghela napas panjang, mengingat kalimat Rini dan Damar tentang adik kembarnya.
"Ternyata, kita nggak bisa memahami orang berdasarkan cerita orang lain, kita akan paham saat kita menghadapinya langsung."
"Sri. Ada satu hal yang harusnya nggak kusampaikan sekarang, karena Dokter Irwan lebih berhak, tapi aku menyampaikan ini untuk kedamaian hati kamu."
"Apa, Jun?"
"Bima udah dapat donor jantung dan tanggal operasi udah ditetapkan."
"Beneran, Jun?"
"Dokter Irwan yang bilang sama aku buat nyampein ini dulu ke kamu, buat Bapak dan Ibu, Dokter Irwan yang akan menyampaikannya secara langsung."
"Kamu nggak bercanda kan? tapi bagaimana dengan biayanya? kami belum memiliki uang yang cukup buat itu apalagi sudah dijadwalkan."
"Itu yang ingin aku bicarain.Tentang Sadewa, adik bungsumu yang luar biasa. Yang mencoba memahami dan memperbaiki, karena menyadari bahwa meratapi takdir terus menerus tidak akan mengubah apa pun."
____
Srikandi menghela napas panjang, apalagi saat menemukan presensi Nakula di taman rumah sakit. Benar kata Arjuna, Nakula ada di rumah sakit dan mungkin menjadi penyebab menurunnya kondisi Bima. Srikandi mencoba menata hatinya, mengatur emosinya dan pikirannya, mencoba menyetabilkan perasaannya agar tidak hilang kendali.
"Adek mbak lagi apa di sini?" Srikandi langsung mengambil tempat di samping Nakula, tangannya merangkul bahu Nakula dan mengusapnya pelan.
"Tadi Mas Juna bilang sesuatu ke mbak, katanya Bima udah dapat donor jantung, kamu seneng nggak?" Srikandi menatap ke arah Nakula yang terlihat terkejut, menunggu respon lisan Nakula yang mendadak membisu.
"Benar mbak? siapa yang donorin? bukan Sadewa kan?"
Respon Nakula membuat Srikandi terkejut bukan main, tiba-tiba ada rasa tidak nyaman di batinnya, lantas rasa bersalah. Srikandi bahkan tidak tahu mengenai ini dan dia mulai dirundung rasa takut luar biasa.
"Apa maksud kamu?" Srikandi bertanya dengan nada bergetar, tanpa sadar meremat kuat tas miliknya.
"Mbak jawab dulu pertanyaanku, bukan Sadewa kan? Sadewa baik-baik aja kan?" Nakula mengguncang bahu Srikandi, menuntut jawaban dari kakak sulungnya.
"Sampai sekarang belum ada kabar tentang Sadewa, jadi mbak nggak tahu apa dia baik-baik aja apa engga, mbak cuma dapat laporan dari Mas Juna kalau sehari sebelum Bima kambuh, Sadewa datang ke sini."
"Sadewa nggak mungkin seputus asa itu dan nuruti permintaan gila Mas Bima kan mbak?"
"Permintaan gila Bima?"
"Mbak tahu nggak kenapa Sadewa kelihatan lebih putus asa, itu karena permintaan gila Mas Bima yang minta jantung Sadewa buat dia." Nakula menunduk dalam kemudian, air matanya mulai menetes, dadanya terasa sesak sekali.
Srikandi hanya mampu terdiam, memilih membawa Nakula ke dekapannya, mencoba menenangkan dengan mengusap lembut punggungnya. Banyak tanda tanya di kepala Srikandi, termasuk kebenaran tentang permintaan tergila itu, Srikandi memang kesannya jarang memperhatikan Sadewa, tapi bukan berarti Srikandi menginginkan kematian Sadewa.
"Aku bodoh mbak, aku bodoh karena aku ikut di dalam rencana itu, aku ngancurin Sadewa, aku fitnah Sadewa. Sadewa nggak pernah salah mbak, yang melakukan penggelapan dana kelas dan sekolah adalah aku bukan Sadewa, aku pura-pura jadi Sadewa kemudian melakukan itu semua atas nama Sadewa, agar Sadewa hancur karena aku yakin Bapak , Ibu dan Mbak Sri nggak akan pernah percaya sama Sadewa, dan rasanya menyakitkan bukan saat kita tidak mendapatkan kepercayaan orang yang kita sayang sepenuh hati?"
Srikandi kemudian paham, kenapa Arjuna memintanya mengaktifkan panggilan telfon, sebuah titik terang dari segalanya. Pengakuan Nakula, permintaan gila Bima dan cerita dari Arjuna yang mungkin akan memberinya semua jawaban.
___
Srikandi menghela napas panjang setelah memastikan Nakula terlelap dalam tidurnya, setelah pengakuan Nakula dan berakhir dengan tangis yang panjang, Srikandi memutuskan membawa Nakula pulang dan meminta Nakula untuk beristirahat di rumah. Srikandi mengelus lembut surai hitam Nakula, menyeka jejak air mata di pipi Nakula, Srikandi mengecup kening Nakula kemudian memutuskan untuk keluar dari kamar Nakula dan segera bersiap untuk menemui Arjuna karena shift Arjuna sebentar lagi akan selesai.
TBC