Sadewa menghela napas panjang, memilih duduk di taman rumah sakit, memikirkan kembali keputusan besar yang baru saja dia lakukan, tapi Sadewa tidak memiliki pilihan lain. Tawaran yang baru saja dia terima sangat menguntungkan, setidaknya Sadewa bisa menebus semuanya. Sadewa menghela napas panjang, kemudian mulai merancang kembali kehidupannya yang sudah hancur, Sadewa juga enggan untuk kembali ke rumahnya, hatinya masih terasa sakit bahkan hanya mengingatnya, meskipun jauh di lubuk hatinya Sadewa juga merasakan rindu. Namun, rasanya bahkan menyakitkan saat kenyataan menamparnya, bahwa mungkin rasa rindunya sama sekali tidak terbalas.
"Sadewa."
Sadewa menoleh dan mendapati seorang dokter yang sangat dia kenal menghampirinya, Sadewa memilih tidak peduli, memalingkan wajahnya sebab rasa sakit semu yang dia rasakan karena kenangan yang berputar di kepalanya.
"Saya sudah mendengarnya, kamu bahkan tidak mau melihat masmu yang menderita dan kamu malah menyelamatkan kehidupan orang yang bahkan nggak kamu kenal."
"Ini kehidupan saya, dokter irwan terhormat." Sadewa menarik napas panjang, dia harus segera pergi dari sini.
"Bima juga menderita, apakah kamu nggak mau memahami perasaannya? Bima banyak cerita, kalau kamu sering membuatnya merasa semakin jatuh."
"Anda bercanda? saya bahkan bisa menghitung dengan jari berapa kali saya berpapasan dengan pasien kesayangan anda itu, di matanya hanya ada Nakula dan Mbak Sri yang menjadi saudaranya."
"Dia menganggapmu."
"Ya, itu terjadi saat dia membutuhkan sesuatu dariku. Saya permisi." Sadewa bangkit, rasanya masih menyesakkan.
"Hidup dengan satu ginjal tidak semudah yang kamu bayangkan."
Kalimat Dokter Irwan membuat Sadewa menghentikan langkahnya. Sadewa menarik napas panjang, mencoba meredakan rasa sakit di hatinya.
"Setidaknya saya masih hidup, Dokter. Berbeda lagi kalau saya memberikan jantung saya ke Mas Bima. Saya akan mati." Sadewa melanjutkan langkahnya, meninggalkan Dokter Irwan yang termenung.
Dokter Irwan bisa merasakan getaran takut di kalimat Sadewa, dia tidak bisa berpikir jernih sekarang, tentang Bima yang kondisinya semakin lemah sebab jantungnya yang kian rewel, tentang semangat hidup Bima yang menyala, tentang harapan keluarga Bima tentang kesembuhan Bima dan tentang sebuah percakapan Bima dengan Sadewa. Permintaan gila Bima yang meminta jantung adiknya sendiri demi standar kebahagiaan yang ingin dia raih, tentang bagaimana Sadewa mencoba tangguh dan tetap berdiri meskipun kakinya sudah gemetar lemas karena takut, tentang Sadewa yang saat ini dia lihat begitu kecewa dan terluka namun tetap mencoba berdiri tegak meskipun tanpa penopang.
Dokter Irwan tidak tahu, kepada siapa dia memihak sekarang, kepada pasiennya yang mendekati sekarat atau kepada adik pasiennya yang hanya memiliki raga tanpa jiwa yang benar-benar hidup dengan bahagia.
_____
Ibu sakit. Membuat Srikandi memijat pelipisnya karena pekerjaannya menjadi dua kali lipat lebih banyak, Bapak menjadi pendiam. Kehidupan normal hanya dirasakan Bima dan Nakula yang sekarang terlihat lahap memakan sarapannya, berbeda dengan Ibu yang hanya mengurung diri di kamar dan enggan menyentuh makanannya.
Srikandi menghela napas panjang, setelah selesai mengurusi sarapan dan Bapak sudah pergi ke Klaten untuk pekerjaannya, Srikandi pergi ke kamar Sadewa, sejak Sadewa pergi, Ibu tidur di sana dengan memeluk baju Sadewa yang tersisa di almari. Srikandi menghela napas panjang saat melihat Ibu yang tengah terisak sembari meraba sertifikat penghargaan yang Ibu temukan di laci meja belajar Sadewa.
"Bu, makan dulu yaa."
"Cari adikmu, Sri."
"Dewa pasti pulang, Bu." Srikandi hanya menghIbur, menghIbur dirinya sendiri sekaligus sang Ibu yang terpukul.
"Tadi malam, Ibu mimpi ketemu Sadewa yang usianya lima tahun, Ibu ngingkarin janji karena kondisi bima dan Sadewa balik badan, pergi dari Ibu dan nggak mau kembali, Ibu berusaha memanggil tapi Sadewa terus berlari hingga Ibu nggak sanggup mengejarnya, Sadewa marah, Sadewa kecewa."
"Itu hanya bunga tidur, sekarang Ibu makan yaa."
"Bapak mu mana, Sri. katanya Bapak mau mencari Sadewa." Ibu teringat akan janji manis suaminya sebelum dia kehilangan daya sebab kehilangan permata berharganya.
"Bapak ke Klaten, Bu. Bapak bilang Bapak harus tetap kerja buat nabung biaya operasi bima, tapi Bapak tetap nyari Sadewa kok, Bu." Srikandi sebenarnya berat menyampaikan ini, namun mau tidak mau , suka tidak suka, Ibu harus memahami bahwa kondisi ekonomi keluarga mereka akan porak poranda jika semuanya hancur dan terpuruk, terlebih Bima yang membutuhkan perhatian lebih. Ibu terisak, kemudian menepis tangan Srikandi. Ibu bangkit menuju kamarnya, mengganti pakaiannya dan mengusap wajah penuh air matanya."Ibu mau kemana?"
"Sadewa anak Ibu juga, Ibu akan cari Sadewa." tekad Ibu sudah bulat, Ibu tidak akan membiarkan Sadewa terlalu jauh darinya.
"Bu." Srikandi berusaha mencegah, dia mengambil cuti hari ini untuk merawat Ibu, bukan menghadapi Ibu yang kalap karena kehilangan. Suara ponsel membuat Srikandi mengentikan aksinya mencegah Ibu.
"Bu, Bima kambuh." Srikandi meneriakkan hal itu dengan panik, sedangkan Ibu yang berada di ambang pintu utama terdiam kaku penuh dilema.
"Bu, kita harus bergegas, Dokter Irwan membutuhkan Ibu di sana."
TBC