Dinginnya udara malam tidak membuat Sadewa menggigil, dia berada di kusen jendela kamarnya,tangannya masih sibuk memetik gitar kesayangannya mencoba menghayati nada meskipun setelahnya buyar karena bayangan raut kecewa Bapak dan Ibu, Sadewa menarik napas panjang memilih menikmati udara dingin malam ini. Mencoba memikirkan kembali kalimat Damar saat di ruang konseling.
"Kamu membuat Bapak dan Ibuk merasa gagal, bisa nggak ngasih satu aja alasan kenapa kamu ngelakuin ini?" suara lain yang sangat Sadewa kenal membuat Sadewa mendengkus kesal, itu suara kakaknya, Srikandi. Sadewa memilih bungkam, memilih diam sembari memeluk erat gitar kesayangannya, mencoba mencari kekuatan.
"Jawab Sadewa!" suara itu meninggi membuat Sadewa menghembuskan napas panjang dan mendongak demi menatap kakak perempuannya yang tengah berkacak pinggang sembari menatapnya dengan mata tajam.
"Kamu tahu nggak sih, mbak itu kerja keras buat nyekolahin kamu biar kamu sukses dan banggain Bapak sama Ibuk! Mereka juga kerja keras buat kamu!"
"Buat aku? Semuanya cuma buat Mas Bima sama Nakula!"
"Sadewa!"
"Terserah mbak maunya gimana, silahkan kalau mbak mau marah sama aku, mau benci aku juga nggak masalah, silahkan kalau mau kecewa, Sadewa bisa nerima kok. Karena ini emang resiko yang harus Sadewa terima."
"Nggak waras kamu yaa!" Srikandi menampar kuat pipi Sadewa sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Sadewa yang kini mengusap wajahnya kasar.
Ini rumit.
Sadewa menghela napas panjang kemudian memilih membaringkan tubuhnya di ranjang, membiarkan jendela kamarnya terbuka dan angin malam membuat tirai jendelanya menari-nari. Hari ini terasa berat, tapi Sadewa paham, ini bahkan belum apa-apa, masih banyak hari yang menunggunya di depan sana, entah berat, entang ringan atau mungkin tidak ada hari yang bisa dijabarkan lagi untuknya.
____
Ibu menghela napas panjang menutup jendela kamar Sadewa pelan, kemudian melangkahkan kakinya yang terasa begitu berat ke sisi ranjang Sadewa. Ibu melewatkan banyak hal tentang pertumbuhan kedua putranya, selama ini ibu berpikir bahwa putra kembarnya tumbuh dengan baik dan bahagia.
Ibu melirik meja belajar Sadewa yang sedikit berantakan, ibu bangkit memilih membereskan buku yang masih berserakan kemudian tertegun begitu lama saat melihat sebuah amplop yang sudah kusut.
"Ibuk ngapain di kamar anak nggak tahu diri ini?" suara Bapak membuat Ibu menoleh kemudian menyeka matanya yang basah.
"Besok kita harus datang ke sekolah, kita ajak Srikandi yaa pak."
"Bahkan dia pengecut karena nggak berani ngasih ke kita langsung."
"Pak ...."
"Bapak cuma kecewa buk, bapak kecewa kenapa Sadewa nggak kunjung paham sama keadaan keluarga kita, bima sering cerita kalau Sadewa selalu berbuat ulah, kurang sabar apa bapak?"
"Pak ...."
"Bapak kecewa, rasa percaya bapak hilang sepenuhnya. Toh dia mengakui langsung, dia mengakui kesalahan yang dia perbuat. Entah buat apa uang 50 juta itu, dia buat dugem sama ngobat pasti."
"Bapak!"
itu bukan suara Ibu, tapi suara Sadewa yang sudah tidak tahan dengan hinaan dan kalimat penuh kecewa dari bapak.
"Bapak sama ibu keluar dari kamar Sadewa sekarang."
"Tuuh! Anak kurang ajar kaya gitu masih mau dibelain?"
"Sadewa, jangan pake nada tinggi sama bapak, dia Bapak kamu." Ibu mencoba menengahi, sedangkan Sadewa memilih mencoba tidak peduli. Rasa kecewa di dalam hatinya bahkan lebih banyak dari rasa kecewa yang dirasakan keluarganya.
"Keluar sekarang mumpung aku masih bersabar."
"Dasar anak kurang ajar!" bapak nyaris menghampiri dan memukul kalau saja nakula –saudara kembar Sadewa- tidak datang dengan wajah paniknya.
"Pak, Buk. Mas Bima kambuh." Nakula mengatakan itu dengan terengah, dia panik, tidak peduli dengan wajah memerah Sadewa yang menahan emosinya. Bapak dan ibu kompak keluar, meninggalkan Sadewa dengan segala penat di hatinya.
Tidak ingin kecolongan lagi, Sadewa langsung menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Jika bapak dan ibu kecewa, maka Sadewa lebih kecewa. Bagi Sadewa, semuanya terasa tidak adil, karena bahkan bapak dan ibu tidak pernah mendengarkan cerita tentang kehidupannya dari mulutnya sendiri.
Sadewa menarik napas panjang, kemudian memutuskan untuk melakukan sesuatu, sebuah keputusan yang tidak pernah dia rencanakan. Uang 50 juta itu tidak sedikit, biar pun Sadewa tidak bisa mengembalikan kepercayaan teman-temannya, setidaknya Sadewa tidak menghalangi kegiatan di sekolah.
Sadewa memutuskan untuk berkemas, meninggalkan secarik kertas di atas meja belajarnya dan kunci kamar di bawah pintu. Dengan gitar di pundaknya, Sadewa hanya ingin keluarganya tidak menanggung malu karena keputusan yang sudah dibuatnya.
Tekadnya sudah bulat, setidaknya dia bisa membantu kesulitan yang dialami keluarganya.
Pak, Buk. Mbak Sri, Mas Bima dan Nakula. Sadewa mau pergi dulu selama beberapa hari, Sadewa tahu Sadewa bakal kena skorsing. Sadewa akan cari uang sendiri dan pulang dengan membawa uang ganti rugi, kalian tidak usah khawatir semuanya akan membaik selama beberapa hari, Sadewa janji akan memperbaiki semua kesalahan bahkan meskipun Sadewa harus mengorbankan diri Sadewa sendiri.
TBC