Sadewa menarik napas panjang, rasanya melelahkan namun cukup melegakan.Bapak, Ibu, Nakula dan Arfin sudah pergi sejak tadi, jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, namun Sadewa belum merasa mengantuk. Kepalanya yang terasa pusing dan tubuhnya yang terasa lemas tidak dia hiraukan.
"Sadewa!" suara seseorang membuat Sadewa menoleh dan mendapati Arjuna menghampirinya dengan tergopoh, Arjuna terlihat panik membuat Sadewa mengernyitkan dahinya, namun saat mata Sadewa melihat darah, Sadewa memahami sumber kepanikan Arjuna.
"Mas kan udah bilang sama kamu buat nunggu di luar, kamu kunci dari dalam pun nggak masalah karena mas punya kuncinya." Arjuna menarik napas panjang, dengan telaten menyeka darah yang masih mengalir di hidung Sadewa.
"Pusing?" Arjuna membereskan tisyu yang sudah berlumuran darah setelah memastikan mimisannya berhenti.
"Kamu jadi sering epistaksis akhir-akhir ini, yang kemarin sampai pingsan malahan, kamu harus kontrol besok ke rumah sakit, Dokter Candra udah nanyain ke mas terus, beliau tanya kapan kamu ke sana lagi, udah hampir 3 minggu juga sejak pemeriksaan terakhir, perban udah kamu ganti kan?"
"Mas cerewet, bikin kepalaku makin pusing."
Arjuna berdecak, kemudian memilih menuntun Sadewa yang terlihat limbun saat akan melangkah.
"Pusing? kita ke dalam dulu yaa, di luar dingin, kamu juga nggak pake jaket."
Arjuna membawa Sadewa dalam rangkulannya, memapah Sadewa yang tubuhnya masih terasa lemas. Arjuna menghela napas panjang setelah Sadewa dalam posisi sempurna untuk meminum obat. Arjuna mengeluarkan satu per satu strip obat dari dalam kantong plastik yang dibawanya, kemudian membantu Sadewa meminumnya, setelahnya Arjuna meminta Sadewa untuk berbaring, Arjuna menyibak baju yang dikenakan Sadewa, menghela napas panjang saat melihat keberadaan perban yang berada di sisi perut Sadewa.
"Sejujurnya, Mas menyayangkan keputusan kamu, tapi di satu sisi mas mencoba memahami kamu dan mas nggak bisa ngelarang kamu."
"Aku juga nyesel,Mas. Karena aku juga mendapat kenyataan lain. Mas, apa yang harus aku lakuin?"
"Ceritakan semuanya, Wa. Mereka keluarga kamu, mereka berhak tahu kondisi kamu yang sebenarnya."
"Aku nggak mau merusak kebahagiaan ini,Mas. Tidak untuk sekarang, setelah semuanya membaik, aku akan mengatakannya."
"Waktu tidak mengenal nanti, kamu tidak tahu apa yang akan waktu persembahkan dalam takdir kita. Kamu boleh berencana, tapi jangan lupa semua hal yang ada di dunia ini, ada Tuhan yang menentukan."
Arjuna menghela napas panjang, membereskan semua peralatan yang sudah dipakainya kemudian menatap wajah pucat Sadewa. Arjuna kemudian mengambil stetoskop yang dibawanya, memakainya dan mulai memeriksa bagian dada dan perut Sadewa.
"Sesek yaa?" Arjuna menghela napas panjang, menatap Sadewa yang memilih memandang ke arah lain alih-alih memandangnya.
"Wa, mas udah bilang ke kamu, jangan menutupi apa pun dari mas, sejak kapan kamu sering ngerasain sesak?"
"Sebelum pingsan tempo hari,Mas. Sesaknya kadang-kadang doang, aku pikir itu cuma efek aktivitasku aja, jadi aku nggak bilang sama mas."
"Besok harus kontrol pokoknya."
"Mas Bima jadi operasi lusa, Mas?" Sadewa menatap Arjuna dengan tatapan sayunya, dia mulai mengantuk.
"Iya, semuanya udah oke."
"Mas, kalau waktu nggak mengenal nanti, apakah ini akan menjadi hukuman buat mereka."
"Wa, jangan ngelantur deh." Arjuna menghela napas panjang, kemudian menyamankan posisi Sadewa.