"Bapak tanya sekali lagi, Sadewa." Damar menatap Sadewa yang hanya menunduk dan enggan menatapnya.
"Uang ini dari mana?"
Damar tentu saja terkejut saat mendapati Sadewa berada di ruangannya dan menyerahkan uang kerugian dari kasus abu-abu yang tengah diselidikinya. Ini sudah dua minggu sejak kasus itu berlalu, dua minggu sejak Ibu berdiri dalam keadaan dilema, dua minggu sejak percakapan tidak seimbang di rumah sakit.
"Itu uang yang saya gelapkan kemarin, saya memang pelakunya."
"Sadewa!" Damar tentu saja kecewa mendengar itu, perjuangannya akan sia-sia, namun sekali pun sia-sia Damar tidak masalah, namun Sadewa terlalu cepat menyerah.
"Semua orang bilang begitu, sampaikan maaf saya ke Bu Rini dan kepala sekolah, sampaikan maaf saya ke teman-teman saya di OSIS, setelah ini saya akan pergi."
"Skorsing kamu berakhir setelah kamu menyerahkan uang ini."
"Terimakasih atas kesempatannya, tapi saya ingin menjalani kehidupan baru tanpa tekanan lagi. Saya ingin membuka buka baru dan kisah baru."
"Bagaimana dengan keluargamu?"
"Saya tidak tahu, apakah saya akan kembali atau tidak, saya membutuhkan waktu untuk menyembuhkan luka saya."
"Sadewa..."
"Saya pamit, terimakasih atas bantuannya, permisi." Sadewa bangkit, meninggalkan Damar yang hanya mampu menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya. Dia merasa gagal menjadi guru konseling.
____
Pandu menghela napas panjang, memantapkan langkahnya untuk menghadang langkah Arfin yang sedang bercengkrama dengan beberapa anak OSIS.
"Fin." Pandu menghela napas panjang, tubuhnya menghalangi jalan Arfin yang sempurna mengernyit bingung.
"Dewa tadi ke ruangan Pak Damar." Pandu tidak memiliki waktu banyak, jika Nakula melihatnya mendekati Arfin Nakula akan marah.
"Dia nyerah buat balik, aku tahu ini konyol. Tapi, kamu tahu betul kan siapa dan bagaimana Dewa? kamu paham kan apa yang aku omongin, Sadewa sama sekali nggak bersalah."
Setelahnya pandu bergegas memutar badan dan berjalan cepat meninggalkan Arfin dan teman-temannya yang mengernyit bingung. Arfin sendiri menghela napas panjang, mencoba memahami makna kalimat yang disampaikan oleh pandu, tentang Sadewa, satu-satunya orang yang dia deklarasikan menjadi sahabatnya.
"Nggak usah dipikir, Fin." Arum, sang sekretaris OSIS mencoba menenangkan Arfin yang terlihat gelisah.
"Aku mau ketemu Pak Damar." Arfin memilih berbalik, urung pergi ke kelas. Dia harus mencari jawaban. Tentang teka-teki yang ditinggalkan Sadewa untuknya, memang Arfin sangat marah dengan ini, tapi Arfin melupakan satu hal dalam hubungan persahabatannya dengan Sadewa.
"Pak, katakan dimana saya bisa menemui Dewa." Arfin mencegat langkah Damar, napasnya masih tersengal. Damar yang baru saja keluar untuk menyerahkan uang dari Sadewa menghela napas panjang.
"Dia mungkin tidak akan kembali, itu yang dia katakan. Dia menyerahkan uang ganti rugi." Damar menunjukkan amplop coklat yang dibawanya, hal itu membuat Arfin berdesir, rasanya sesak.
"Pak, apakah boleh saya menyesal sekarang karena tidak mendengarkan perkataan Bapak hari itu? hari di mana saya begitu marah kepada Dewa?"
_____
Dokter Irwan menatap Ibu yang terlihat termenung di taman rumah sakit, Ibu terlihat lebih lelah dari sebelum-sebelumnya sebab kondisi Bima yang sekarang sedang menurun dan tidak ada sosok Bapak yang mendampingi sebab harus mengejar setoran untuk biaya rumah sakit yang tidak sedikit.
"Bu, Bima akan baik-baik saja setelah mendapatkan donor." Dokter Irwan mengambil tempat di sisi Ibu yang kemudian terbangun dari termenungnya.
"Saya tahu, kalau saya boleh jahat, sebenarnya saya sudah pasrah dengan takdir hidup Bima, saya ikhlas apa pun yang terjadi, Bima sudah banyak mendapatkan kebahagiaan." Ibu menarik napas panjang, meremat ponselnya yang berada di nomor yang sama.
"Kenapa Ibu menganggap Bima memiliki banyak kebahagiaan, dia tidak bahagia karena rasa sakitnya."
"Saya paham, tapi ada anak-anak saya yang lain yang tidak bisa merasakan bahagia yang Bima rasakan. Sadewa tidak bahagia, saya gagal membuat Sadewa bahagia, saya gagal membuat Nakula bahagia, saya gagal membuat Srikandi bahagia, saya gagal membuat keluarga saya bahagia, saya hanya fokus dengan kebahagiaan Bima, hingga saya sendiri merasa sesak, ternyata saya juga tidak bahagia." Ibu menghela napas panjang, hatinya menjadi hampa sekarang, dia begitu merindukan putranya yang sekarang pergi entah kemana, rasa kasihnya mendadak mati kepada Bima dan Nakula , rasa belas kasihnya mendadak hambar untuk Srikandi.
"Dokter, bahkan saya berani bilang bahwa Bima pun tidak bahagia sekeras apa pun saya berusaha membuatnya bahagia. Katakan pada saya, bagaimana seorang Ibu membahagiakan putranya yang sekarat dengan mengorbankan putranya yang lain, dengan merampas nyawa putranya yang lain."
Dokter Irwan terkejut dengan pertanyaan itu, dia kira hanya dia yang mengetahui hal itu karena berada di sana dan ikut membujuk Sadewa untuk menyerahkan kehidupannya. Sebuah situasi yang membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang, situasi yang menjadi penyesalan seumur hidupnya.
"Saya tidak sengaja mendengar percakapan Bima dan Nakula ." Ibu menghela napas panjang, mengingat kembali percakapan yang dia dengar satu minggu yang lalu dan masih terngiang hingga sekarang.
"Bima berbicara tentang kebahagiaan dan Nakula juga mengatakan hal yang sama, kebahagiaan Bima adalah dia sembuh dan bisa melakukan banyak hal, kebahagiaan Nakula adalah mendapatkan kasih sayang dari Bima, namun dengan syarat Nakula harus membenci Sadewa, sehingga Sadewa menyerah dengan kehidupannya dan menyerahkan kehidupannya kepada Bima." Ibu menyeka air matanya yang tiba-tiba menetes, rasanya begitu menyesakkan.
"Saya merasa gagal menjadi seorang Ibu karena saya membiarkan putra-putra saya memiliki pemikiran sepicik itu." Ibu menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa sesak di dadanya, mencoba kembali memanggil nomor yang sama, hingga akhirnya mendapat jawaban yang sama selama dua minggu belakangan ini.
"Sekarang saya menyadari dokter, saat saya fokus dengan Sadewa dan mencoba membuat Sadewa bahagia, mereka juga berencana untuk bahagia dan saya tetap tidak bahagia. Mereka juga tidak bahagia, dan mungkin yang sekarang bahagia adalah Sadewa, tapi kemudian saya menyadari, tidak ada anak yang akan bahagia saat keluarganya bahkan tidak mempercayainya, saya pikir Sadewa juga tidak bahagia."
"Dokter, rasanya bahkan meskipun Bima sembuh total, dia tidak akan bahagia selama Sadewa masih ada." Ibu putus asa, bingung dengan segala hal rumit yang ada di dalam hidupnya, dan sialnya Ibu baru menyadari kerumitan dalam kehidupan keluarganya saat salah satu permatanya memutuskan meninggalkan rumah. Ibu menarik napas panjang, menerawang langit yang menampakkan lembayung senjanya.
"Saya harus pergi bekerja, terimakasih dokter sudah mau mendengarkan saya dan terimakasih sudah merawat anak saya dengan baik selama ini." Ibu bangkit dari posisinya, meninggalkan irwan yang kembali bingung dengan perasaannya. Lantas, isi kepala dokter itu menjadi rumit, bertanya-tanya kenapa menjadi bahagia begitu sulit bagi keluarga Bima.
TBC