Bima masih tenggelam dalam kondisi tak sadarnya, setelah menjalani operasi panjang Bima akhirnya akan mencapai tujuan hidupnya, bahagia. Bima masih berada di alam bawah sadarnya, duduk di padang rumput luas tanpa setitik pun ujung.
Sejenak, menikmati suasana menenangkan sebelum kembali ke dunia nyata, kembali ke dunia yang sesungguhnya.
"Mas." suara seseorang membuat Bima menoleh, dan matanya membulat saat mendapati Sadewa menghampirinya.
"Di sini enak, pantes mas betah." Bima mengerjapkan matanya, memastikan sekali lagi bahwa yang di depannya adalah Sadewa. Meskipun Nakula dan Sadewa kembar, Bima tidak kesulitan membedakan keduanya.
"Kamu kenapa di sini?"
"Pengen ketemu sama mas, rasanya sebagai kakak adik, kita jarang ngobrol yaa? mas yang sering sakit dan aku sibuk sama pelampiasan yang aku lakuin karena kesepian." Sadewa menghela napas panjang kemudian menunduk dalam.
"Mas, selama ini mas begitu bahagia dan mendapatkan apa yang nggak kudapatkan. Tapi, aku juga bahagia karena aku nggak punya kekurangan seperti yang mas punya. Menyusahkan orang lain, aku sama sekali nggak mau itu terjadi dalam hidupku, dan mungkin karena aku banyak merutuki mas aku jadi kena karma, sekarang aku sakit, aku bakal ngerepotin banyak orang, aku bakal buat bapak dan ibuk kesulitan."
"Emang, mas semenyusahkan itu yaa?" Bima bertanya dengan nada lirih, dia merasa begitu kecil dibandingkan saudara-saudaranya. Bima menarik napas panjang, selama ini dia merasa kecil hati, karena dia sama sekali tidak bisa diandalkan sebagai seorang anak, dan melihat Sadewa begitu bersinar dan menjadi anak yang baik juga cerdas membuat Bima merasa takut. Bima takut ditinggalkan dan diabaikan karena dia hanya menjadi anak yang merepotkan.
"Bapak, Ibuk, Mbak Sri nggak marah kok sama mas, mereka justru merasa bersalah karena nggak ngebesarin hati mas dan membuat mas berhenti berpikir yang negatif, tapi mas, ternyata itu sulit, dan aku udah ngerasain."
"Wa, kamu benci nggak sama masmu ini?"
"Kecewa. Aku hanya berpikir, kenapa mas nggak bisa buat mikir lebih dewasa dan berhenti mengkhawatirkan banyak hal, tapi aku kemudian menyadari sesuatu, mas. Saat seseorang menjadi dewasa, orang itu akan mengkhawatirkan banyak hal, berbeda jika orang itu masih kecil dan belum memahami cara kerja dunia. Mas, bukannya anak-anak cenderung melakukan apa pun sesukanya dan sepuasnya dan sama sekali tidak memikirkan resiko, anak-anak akan berhenti melakukan sesuatu, saat sesuatu itu membuatnya terluka." Sadewa menghembuskan napas panjang kemudian menatap wajah Bima yang lebih berseri.
"Aku sama sekali nggak benci sama mas, ini kan hanya masalah komunikasi."
"Komunikasi?"
"Ya, seperti itulah. Banyak hal yang cuma jadi andai di kepalaku, Mas. Andai aku cukup berani untuk berbicara, andai keluarga kita memiliki waktu untuk bertukar pikiran bersama atau setidaknya berbicara tentang rasa, andai kita semua cukup paham antara yang satu dengan yang lain."
"Kamu banyak memendam, Wa."
"Enggak, aku bukannya memendam. Aku cerita ke Arfin, ke Mas Arjuna ke Pak Damar ke Bu Rini sebagian aku pendam sendiri, terutama salah paham diantara kita berdua,Mas."
"Maafin masmu ini, mas berpikiran sempit tentang kamu yang akan merebut perhatian semua orang, kemudian mas berpikir picik dan bermain manipulatif."
"Padahal, niatku adalah menghibur Bapak dan Ibuk. Mereka begitu pusing dan kalut karena kondisi kesehatan mas, aku hanya ingin memberi penghiburan lain, mengistirahatkan pikiran mereka dari mas. Bukan maksud membuat mereka berhenti khawatir, hanya saja mereka butuh jeda untuk melihat bahwa mereka masih memiliki anak lain yang membuat mereka bangga, yang memberi mereka cahaya."
"Dan mas malah memanipulasi, menarik mereka dari kamu, memaksa mereka memalingkan wajah dari cahaya yang ditawarkan, menyeret mereka dalam ruang kesedihan berkelanjutan. Kemudian mas sadar, mas nggak bahagia, karena ada hakmu di sana, ada milikmu di sana. Sesuatu yang bukan sepenuhnya milik kita, nggak akan membuat kita bahagia."
"Sekarang mas bisa bercahaya, mas akan menjadi anak normal yang tidak akan lagi membawa keluarganya ke jurang kesedihan. Mas harus bahagia setelah ini."
"Bagaimana denganmu?"
"Aku sudah menyerah." Sadewa berkata dengan lirih, sedangkan Bima tertegun panjang, menatap Sadewa yang melangkah menjauhinya hingga satu pendar cahaya menyilaukan membuatnya kehilangan Sadewa sepenuhnya.
"Sadewa!"
Bima membuka matanya, napasnya masih memburu kemudian menatap ke sekeliling. Bima berada di ruang recovery, di sekelilingnya para perawat memeriksanya, Bima berusaha mencari keluarganya namun nihil, dia tidak menemukan siapa pun.
"Sadewa." Bima melirih, merasakan Sadewa begitu dekat.
"Kamu pulih dengan cepat, Bim. Selamat yaa, jantung baru kamu bekerja dengan baik." Dokter Irwan memasang senyumannya, sedangkan Bima menarik napas panjang.
"Ini ... bukan milik Sadewa kan?"
"Bukan, adikmu akan baik-baik saja." Dokter Irwan menghela napas panjang, tahu betul bagaimana mengkhawatirkannya kondisi Sadewa. Berulang kali mengalami arrest dan pendarahan, sel punca Nakula memiliki kecocokan 100% namun belum bisa dilakukan transplatasi karena kondisi Sadewa yang tidak kunjung stabil.
"Dokter, Sadewa baik-baik saja kan?"
"Sadewa koma." dokter Irwan memilih mengatakannya, meskipun seharusnya Bima tidak memikirkan hal berat, namun dokter irwan tidak memiliki pilihan, Bima akan tahu cepat atau lambat.
"Nakula akan menyelamatkan Sadewa, kamu tenang saja. Setelah kondisimu benar-benar baik,saya akan mengizinkan kamu untuk menjenguknya."
"Dia bilang, dia sudah menyerah." Bima berkata lirih kemudian mencoba memejamkan matanya, mencoba mencari Sadewa di alam bawah sadarnya. Dokter Irwan sendiri menghela napas panjang setelah obat tidur yang dia suntikkan bekerja.
TBC