BAB VII : Malam yang Tenang

769 141 3
                                    

Arfin menghela napas panjang, menatap Sadewa yang sibuk dengan aktivitas memasaknya. Sadewa memiliki kedai kecil di salah satu ruko yang berdiri tidak jauh dari alun-alun kidul, kebetulan pemilik sebelumnya kontraknya sudah habis, sehingga Sadewa bisa menyewanya sekaligus mendirikan usaha sendiri dengan uang yang masih dimilikinya. 

"Wa, kamu nggak ada yang bantu?" Arfin menghela napas panjang, meskipun kecil dan terbilang baru, namun pengunjungnya sudah lumayan banyak, Arfin benar-benar mengakui bakat Sadewa dalam hal promosi dan pemasaran. 

"Belum, Fin. Masih bisa aku handle sendiri."

"Aku bantu boleh?"

"Dengan senang hati, oh iya aku mau kamu bantu aku satu hal." Sadewa menghentikan sejenak aktivitas memasaknya, kemudian mengeluarkan sekotak menu nasi goreng dari dalam almari. Kotak itu polos, tidak bermerk seperti kotak yang lain. "Kamu pergi ke alkid, cari Ibu-Ibu yang jualan manggis, hanya ada satu di sana, kasih ke beliau tapi jangan sebutin namaku atau ngasih tahu dimana belinya."

"Oke. Kenapa harus aku?"

"Karena aku belum siap ketemu Ibu." Sadewa menjawabnya dengan pelan, kemudian memilih mengantarkan pesanan ke pelanggan, sedangkan Arfin termenung sembari menatap kotak polos yang berisi nasi goreng. Arfin mengingat betul hari itu, hari di mana Sadewa begitu kecewa. Arfin kemudian memilih membungkus kotak itu dengan plastik bening, kemudian melangkahkan kakinya keluar kedai menuju alun-alun kidul yang memang jaraknya tidak jauh dari kedai kecil milik Sadewa. "Fin, sebentar." Sadewa mencegat langkah Arfin, mengambil beberapa lembar uang dari laci. "Beliin beberapa manggis sekalian."

"Ini bukan beberapa, Wa. Tapi mborong."

"Stok manggisku udah habis, aku butuh manggis." Sadewa memperlihatkan daftar menu di kedai kecilnya. "Banyak yang suka, dan aku butuh manggis untuk pelangganku." Sadewa mengerlingkan matanya, membuat Arfin menghela napas panjang, kemudian melanjutkan langkahnya. "Ekh, Fin. Sebentar, lupa amplopnya. Harganya tiga ratus ribu, tapi aku bayar lima ratus ribu, jadi harus di amplopin, jangan lupa direkatin."

Setelah berkeliling, Arfin menghela napas panjang saat menemukan sosok wanita yang terlihat begitu lesu, sesekali menatap ponsel yang modelnya ketinggalan zaman dan dagangannya yang tak kunjung laku. "Bu, kalau saya punya uang seratus ribu 3 lembar, saya dapat berapa manggis, ya?" Arfin menyamakan posisinya dengan Ibu yang kemudian menatap Arfin begitu lama. "Saya Arfin, Bu. Sahabatnya Sadewa." Arfin mengulaskan senyumannya, kemudian meraih tangan kurus Ibu yang mulai berkeriput dan menciumnya hangat. Ibu mengelus pelan puncak kepala Arfin, mengandaikan jika yang di depannya adalah Sadewa. "Kamu nggak perlu mborong manggis Ibu, nak." Ibu menghela napas panjang, dia tidak mau terlalu merepotkan. "Bukan saya, Bu. Saya hanya disuruh atasan saya, atasan saya memiliki kedai dan membutuhkan banyak manggis untuk membuat menu."

"Oalah, Le. Bosmu kok setiap malam ganti karyawan, Ibu sampai kewalahan." Ibu mulai memasukkan sisa manggis yang dia miliki ke dalam plastik, sedangkan Arfin tersenyum kecil. Sadewa mengatakan bahwa kedainya baru buka satu minggu belakangan dan selama itu pula, seharusnya Sadewa sudah memiliki banyak stok buah manggis. "Ini, le. Totalnya tiga ratus ribu saja." Ibu menyerahkan bungkusan plastik berisi manggis kepada Arfin yang langsung memberikan amplop yang berisi uang dari Sadewa. "Oh iya, Bu. Ini ada titipan juga dari atasan saya, dimakan yaa, Bu. Menunya enak kok, makanya ramai."

"Warungnya tu dimana tho, le? penasaran Ibu."

"Masih rahasia, Bu." Arfin tersenyum kemudian memilih melihat Ibu yang membuka kotaknya perlahan. "Le, sini dulu yaaa. Temenin Ibu makan, udah lama Ibu nggak makan sama anak-anak Ibu, nasi gorengnya enak banget, Ibu jadi merasa tenang pas makan." Ibu mencoba memakannya dengan perlahan, nafsu makan yang selama dua minggu terakhir menghilang kini seolah bangkit. Ibu tidak akan melupakan cita rasa nasi goreng ini, membuat rindunya kepada Sadewa semakin bertambah, apalagi saat melihat note kecil beserta amplop yang diselipkan diantara kotak. "Bu, Sadewa sayaang banget sama Ibu, beri Sadewa waktu untuk menyembuhkan lukanya." Arfin menggenggam tangan Ibu yang bergetar karena rasa bahagianya. "Ibu rindu Sadewa, sangat rindu. Tapi, Ibu tidak boleh egois bukan?" Ibu menutup kotaknya, kemudian menghela napas panjang menatap Arfin yang mengulaskan senyuman lebarnya. "Biarkan seperti ini saja, Le. Ibu sudah senang dan tenang, karena Sadewa baik-baik saja."

"Nggak sepenuhnya, Bu. Sadewa sedang dalam proses penyembuhan lukanya, Ibu mau lihat sebentar?" Arfin menawarkan, rasanya sangat jahat jika dia mencegah rasa rindu seorang Ibu. Arfin menuntun langkah Ibu, kemudian berdiri di tempat di mana mereka bisa melihat Sadewa dengan jelas tanpa harus mendekat. "Sadewa terlihat sehat meskipun badannya lebih kurus, makasih yaa, Le." Ibu menggenggam erat catatan kecil yang ditinggalkan Sadewa. "Arfin antar pulang ya, Bu. Ibu pasti udah capek, Arfin udah pesan online, Sadewa nggak mau Ibu pulang sendiri jadi nyuruh Arfin buat antar Ibu pulang."

"Makasih, le." Ibu menurut saat Arfin merangkulnya untuk menjauh, rasanya hangat sekali hatinya, rasanya bahagia sekali. Bahkan saat mobil yang mengantarnya sudah pergi, senyuman Ibu tidak luntur, sisa nasi goreng di kotak Ibu peluk erat-erat. Ibu melangkah masuk, kemudian mendekati Bapak yang baru saja pulang setelah 2 minggu di klaten. "Ibu kok nggak telfon Bapak atau Sri kalau mau pulang." Wajah Bapak juga lesu, sangat kuyu dan terlihat lelah. "Bu, maafin Bapak karena nggak berhasil membawa Sadewa pulang." Bapak menghela napas panjang, sedangkan Ibu memilih duduk di samping Bapak , meletakkan kotak polos itu di meja, kemudian membukanya. Masih ada setengah porsi nasi goreng, Ibu menyendoknya dan mengarahkannya ke mulut Bapak . "Bapak sudah makan, Bu."

"Nyicip dulu, Pak." Ibu memaksa Bapak yang kemudian akhirnya membuka mulutnya dan matanya membola saat merasakan sesuatu yang berbeda. Ibu kemudian menunjukkan tulisan kecil di dalam tutup kotak. "Pak, Ibu sudah bertemu Sadewa, tapi Ibu tidak berani mendekat karena takut Sadewa terluka, Arfin bilang Sadewa baik-baik saja, dia membuka sebuah kedai di area alun-alun kidul, Sadewa juga mau ngejar paket C, dia rindu Ibu dan Bapak , tapi Sadewa butuh waktu untuk menyembuhkan sakit hatinya, Pak ... Sadewa terlihat lebih kurus." Ibu meracau dan membuat Bapak memeluk erat Ibu yang masih terisak, isakan yang berusaha Ibu tahan sedari tadi. Bapak juga bertemu Sadewa kemarin, saat Bapak putus asa dan menemukan Sadewa sibuk dengan kedainya, Bapak mendekat dan Bapak harus menerima sebuah hukuman. "Nggak apa-apa,Bu. Kita lewati bersama-sama yaaa, kita tunggu Sadewa sama-sama yaa." Bapak menenangkan Ibu yang masih menangis, kemudian menyodorkan dua amplop dengan warna yang berbeda. "Ini dari Sadewa, Pak. Buat biaya sehari-hari sama biaya rumah sakit Bima."

"Maafin Bapak yang nggak ada buat Ibu selama dua minggu ini, maafin Bapak ." Bapak mengecup puncak kepala Ibu berulang kali, kemudian melirik nasi goreng yang masih ada. "Kita makan bareng yaa, Bu. Sini Bapak suapin Ibu, Sadewa pasti nggak akan suka kalau makanannya nggak habis."

Rasanya, malam ini Bapak dan Ibu bisa tidur dengan nyenyak dan lebih tenang. Tentang kerinduan yang pada akhirnya mereka tahu cara untuk melampiaskan. "Pak, Ibu rasanya lega dan bahagia, bukan berarti Ibu tidak sakit melihat kondisi Bima yang semakin menurun, tapi ... perasaan ini rasanya berbeda."

"Bu, dokter irwan sudah cerita semuanya, Sadewa juga, sehingga Bapak memahami keadaan Sadewa sekarang. Kita kuat sama-sama lagi,Bu." Bapak mengecup kening Ibu, kemudian tersenyum saat mengingat pertemuannya dengan Sadewa kemarin.

Arfin menyerahkan sekantung plastik berisi manggis kemudian menatap Sadewa yang tersenyum lebar saat menerimanya. "Wiih, makasih yaa, Fin." Sadewa tersenyum begitu lebar, terlihat bahagia meskipun itu hal yang sederhana. "Mulai besok, pemasoknya mau langsung kirim ke kedai, jadi sekarang aku adalah karyawan dalam sebuah bisnis keluarga."

"Makasih, Fin. Makasih udah mengurangi sedikit rinduku sama Ibu. Nggak salah kalau aku ngangkat kamu sebagai karyawan." Sadewa tertawa setelahnya, membuat Arfin cemberut karena kesal. "Aku nggak mau jadi karyawanmu, maunya jadi partner."

"Tawaran diterima." Sadewa terkekeh, sedangkan Arfin juga ikut terkekeh, rasanya sudah lama sekali dia tidak tertawa bersama Sadewa. Arfin bahkan mengetahui bahwa Sadewa juga melihat Ibu dari kejauhan, meskipun tatapan mereka tidak bertemu.

Assalamualaikum, Bu.

Sadewa tahu Ibu pasti lagi nggak nafsu makan, ini spesial buat Ibu sama Bapak . Sadewa sayang Bapak dan Ibu, sayang Mbak Sri,Mas Bima dan Nakula . Tapi, Sadewa butuh waktu untuk sendiri, maafin Sadewa yaa, Bu. Sadewa sayang banget sama Ibu

DONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang