BAB XV : Hari Pengakuan

772 113 7
                                    

Nakula menarik napas panjang, kemudian menatap Arfin dan Pandu yang mengulaskan senyuman dan gestur untuk menyemangati. Hari ini, adalah hari pengakuannya, pengakuan tentang perbuatan tidak baiknya. Nakula sudah siap dengan segala resikonya, jika memang semua orang akan memandangnya seperti sampah, rasanya bukan masalah. Nakula akan menganggap bahwa itu adalah hukuman yang setimpal untuk penjahat sepertinya. Nakula menghela napas panjang, mencoba menguatkan dirinya sendiri saat kepala sekolah memanggil namanya di tengah-tengah beliau menyampaikan amanat upacara bendera. Nakula menarik napas panjang, menatap wajah teman-teman sekolahnya, mencoba memantapkan diri lebih lagi.

"Selamat pagi semuanya, Saya Nakula. Saudara kembar Sadewa, kembar identik." Nakula menjeda kalimatnya, rasanya semakin mendebarkan saat semuanya diam dan semua tatapan tertuju ke arahnya. 

"Karena kami identik, maka akan sulit membedakan, kecuali gaya pakaian. Saya Nakula, saya mau mengakui sesuatu, mungkin jika kalian pernah melihat sosok Sadewa menariki uang atau apa pun yang kemarin dituduhkan kepada Sadewa, maka kalian salah besar. Saya Nakula, saya memanfaatkan keidentikan kami untuk menjatuhkan nama Sadewa, semua yang dituduhkan kepada Sadewa sangat tidak benar, karena semua uang itu ada di saya dan saya sudah berpura-pura menjadi Sadewa dan sengaja merusak nama baik Sadewa di depan kalian." Nakula memejamkan matanya, apalagi saat tidak melihat ada reaksi berarti dari semua orang.

"Saya minta maaf, uangnya sudah saya kembalikan karena saya tidak memakainya sama sekali." Nakula menunduk, mengingat tentang Bima yang memaksanya memberikan uang itu untuk membeli laptop baru dan Nakula dengan tegas menolaknya. 

"Saya benar-benar minta maaf, jika setelah ini kalian akan menghukum saya, saya tidak masalah, karena saya memang sangat bersalah dalam hal ini dan menjadi pelaku tunggal tanpa hasutan atau bantuan siapa pun." Nakula menunduk, tidak memiliki nyali untuk sekedar menegakkan kepala, hingga suara tepuk tangan memenuhi lapangan upacara.

 Nakula mendongak, menatap semua orang yang tengah bertepuk tangan, meskipun beberapa ada yang tidak melakukan itu.

"Orang yang hebat, adalah orang yang berani mengakui kesalahannya." Sahutan kepala sekolah membuat tepuk tangan semakin meriah. 

Arfin tersenyum mendengarnya, hingga dia mengingat suatu hal tentang pesan Arjuna kepadanya. Arfin melangkah maju, mendekati Nakula yang masih berdiri terpaku, membisikkan kalimat yang akan membuat Nakula syok berat.

"Sadewa masuk rumah sakit, saat ini dia divonis koma oleh dokter karena kondisinya sangat lemah, dia butuh kamu, butuh sebagian dari tubuh kamu yang juga dimiliki olehnya, dia butuh sumsum tulang belakangmu."

Nakula terhuyung, menatap Arfin yang menatapnya dengan tatapan serius, Nakula kemudian menatap kepala sekolah yang tersenyum tipis. 

"Pergilah, Arfin akan mengantarmu. Kami akan mendoakan kalian." Pria itu tersenyum tulus, membuat Nakula menurut saat Arfin menariknya turun dari podium dan meninggalkan sekolah. Di depan gerbang sudah ada taksi, sudah ada Pandu di sana dan Nakula hanya berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.

___

Nakula menghela napas panjang, mencoba membayangkan bahwa dia menyentuh Sadewa meskipun hanya lewat kaca. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, Nakula baru diperbolehkan melihat Sadewa meskipun dari jauh. 

Terakhir kali bertemu, mereka masih bercanda meskipun suasananya masih canggung dan sekarang menjadi lebih hening. Sadewa terlihat rapuh dan lemah, terlihat begitu sakit dan Nakula merasakan dadanya begitu sesak, rasanya menyakitkan dan lebih menyakitkan dibandingkan melihat Bima. 

Nakula menunduk dalam, memanggil nama Sadewa dalam hati, mencoba berkomunikasi lewat batin. Nakula tenggelam dalam rasa bersalahnya. Pandu merangkul bahu Nakula, mencoba menyalurkan kekuatan kepada Nakula, biar bagaimana pun Nakula adalah sahabatnya meskipun perangai Nakula tidak bisa dikatakan baik. 

Arfin juga merangkul bahu Nakula, mencoba membayangkan bahwa dia tengah merangkul Sadewa. Rasanya menyedihkan, dia masih ingat saat Arjuna menghubunginya dan memintanya untuk tidak panik, rasanya Arfin ingin bergegas beranjak menuju rumah sakit, namun dia berusaha menekan perasaannya dan berusaha mengikuti arahan dari Arjuna dan Arfin tidak akan lupa dengan Pandu yang juga membantunya untuk berpikir jernih. 

"Fin, makasih udah nemenin adek aku, jadi temen adek aku." Nakula berkata lirih, sedangkan Arfin hanya mengulaskan senyuman tipis, Arfin ingin menangis, namun dia tidak bisa menangis jika di hadapan Sadewa. 

"Pandu sahabat yang baik, jangan sia-sia kan dia. Aku pergi dulu, aku harus pulang." Arfin memilih mundur, melihat Sadewa lama-lama hanya akan membuat tangisnya pecah. 

_____

Arjuna menghela napas panjang saat melihat Arfin yang memilih duduk di salah satu bangku taman rumah sakit alih-alih pulang seperti yang dia katakan kepada Pandu dan Nakula. Arjuna yang juga berada di sana, melepaskan sejenak pelukannya kepada Srikandi dan memilih mengikuti Arfin. 

Sejenak, mengamati Arfin yang berulang kali mengatur pernapasannya dan menyeka mata basahnya, adik sepupunya itu terlihat menyedihkan saat mencoba untuk tegar. Arjuna memilih menghampiri, duduk di samping Arfin dan membawa Arfin dalam rangkulannya. 

Tangisan Arfin pecah, sedangkan Arjuna tidak berusaha menenangkan, membiarkan Arfin menumpahkan semuanya, rasa takut, sedih dan semua perasaan yang Arfin pendam begitu dalam sejak pertama kali bertemu Sadewa dan mendengar semua cerita tentang Sadewa dari Arjuna. 

Arfin hancur, Arfin patah namun Arfin selama ini berusaha kuat, karena Arfin menyadari bahwa Sadewa lebih patah, lebih hancur dan lebih jatuh. Arjuna mengeratkan pelukannya, tidak berniat menyeka air mata Arfin, membiarkan bajunya basah oleh air mata. Tangisan Srikandi, bapak dan ibu, Nakula dan tangisan Arfin masih kalah menyedihkan. 

Malam di mana dia bertemu Sadewa adalah malam di mana Arjuna mendengar suara tangis yang begitu pilu dari Sadewa yang begitu putus asa hingga memutuskan untuk menjual ginjalnya untuk bertahan hidup selama menyembuhkan hatinya. Keputusan yang membuat Arjuna ingin marah, namun melihat situasi yang diceritakan Sadewa dan Srikandi, Arjuna paham bahwa Sadewa tidak memiliki pilihan lain. 

"Mas Juna, aku gagal menjadi sahabatnya, aku gagal menolong dan membantunya, aku gagal menjadi teman yang baik untuknya, aku gagal untuk membalas budi baiknya. Sadewa nggak akan nyerah gitu aja kan? Sadewa pasti akan sadar kan? Sadewa pasti akan sembuh kan? Sadewa akan sembuh setelah Nakula mendonorkan sel puncanya kan mas?"

Arjuna bungkam, memilih tidak menjawab pertanyaan yang sarat akan tuntutan dan ketakutan itu. 

"Jawab aku mas!"

"Sadewa pasti sembuh, kita doakan kondisi semakin membaik dan stabil sehingga stem sel bisa dilakukan."

Arjuna memilih untuk berdusta. Karena nyatanya, Sadewa sudah memutuskan untuk menyerah, sudah memutuskan untuk pasrah, kondisinya semakin memburuk begitu cepat. Dokter Candra sendiri tidak yakin dengan jalan pengobatan ini,kemungkinannya begitu kecil karena semangat Sadewa yang luntur dan patah memperparah kondisi tubuhnya. Arjuna menghela napas panjang, mencoba mempercayai bahwa kemungkinan kecil itu akan menjadi jalan bahagia untuk Sadewa dan keluarga kecilnya. Arjuna berharap, bahwa kebahagiaan yang sebenarnya sudi untuk hadir meskipun hanya sebentar.

TBC

DONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang