BAB VI : Fakta

783 133 2
                                    

Arfin menatap Sadewa dengan tatapan yang sulit, rasanya rindu tapi rasa kesal itu masih ada. Setelah Damar mengatakan bahwa Sadewa sudah menyerah dengan sekolahnya, Arfin tidak pikir panjang, apalagi setelah Damar menyayangkan keputusannya untuk ikut marah tanpa pikir panjang karena kasus yang menggegerkan seisi sekolah itu. 

"Wa, apa kamu nyerah gitu aja?" Arfin menarik napas panjang, mencoba menatap halaman sekolah yang sepi karena kelas sudah masuk sejak tadi. 

Demi mencari Sadewa, Arfin rela membolos kelas dan beruntungnya Arfin mengingat satu tempat yang sering menjadi tempat untuk menghabiskan waktu bersama Sadewa, sebuah tempat rahasia yang menjadi saksi bisu keduanya. 

"Oke, aku salah karena nggak dengerin penjelasan kamu aku minta maaf soal itu." Arfin menarik napas panjang, apalagi saat Sadewa tidak kunjung membalas kalimatnya. 

"Kamu udah banyak nolong aku, apakah kali ini kamu mau ngasih aku kesempatan buat nolong kamu? bantu kamu?" Arfin menjeda kalimatnya, menunggu Sadewa yang sedari tadi memilih membisu, Arfin menarik napas panjang, kemudian memilih mendekat dan membawa Sadewa ke dalam pelukannya, dan setelah lebih dari 4 tahun mengenal Sadewa sebagai sahabatnya yang tangguh, Arfin mendengar Sadewa menangis untuk pertama kalinya. 

Arfin tertegun, tangisan Sadewa terdengar sangat menyakitkan dan membuat Arfin semakin mengeratkan pelukannya sembari menepuk punggung Sadewa lembut, mencoba menenangkan dan mengatakan secara isyarat, bahwa kini dia hadir untuk Sadewa. 

"Maafkan aku karena sempat nggak percaya sama kamu." Arfin mengeratkan pelukannya, rasanya menyakitkan mendengar tangisan Sadewa.


___


Arfin menghela napas panjang, setelah memastikan bahwa sosok Nakula sudah pergi, dia bergegas menarik tangan pandu. 

"Pandu? ikut aku sekarang, ada yang mau ngomong sama kamu." Arfin menarik Pandu tanpa memberi kesempatan kepada Pandu untuk berbicara. Pandu sendiri hanya pasrah, sesekali melihat dan memastikan bahwa Nakula tidak melihatnya bersama Arfin atau Nakula akan sangat marah kepadanya. Pandu memahami bahwa Nakula sama sekali bukan sosok teman atau sahabat yang baik untuknya, namun bukan berarti Pandu meninggalkan Nakula begitu saja, karena Nakula pernah menyelamatkan kehidupan berharganya, sebuah sisi yang tidak diketahui oleh banyak orang tentang Nakula . 

"Wa, aku bawa Pandu ke sini."

Lamunan pandu pecah karena suara Arfin yang berbicara dengan seseorang dan pandu mendadak menjadi patung saat melihat siapa yang hadir di depannya. Pandu mengenal dengan baik jaket itu dan membuat Pandu seketika limbun.

 "Sadewa?" Pandu tentu masih ingat, bagaimana sosok pahlawan itu menyelamatkan kehidupannya dan bagaimana sosok itu mengenalkan diri sebagai Nakula . 

"Ya, ini aku." Sadewa menghela napas panjang, kemudian menatap Pandu yang masih berdiri kaku dengan wajah terkejutnya. 

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, kamu mungkin merasa terbodohi." Sadewa menjeda kalimatnya, kemudian menarik napas panjang, sedikit menerawang tentang malam di mana dia menyelamatkan nyawa Pandu dan memperkenalkan diri sebagai Nakula . 

"Nakula sejak kecil nggak pernah punya temen, karena dia menyebalkan dan sangat egois, protektif juga, semua orang menjauhi Nakula karena temperamennya. Nakula iri, berulang kali melakukan kesalahan dan mengaku sebagai aku, tapi cara itu tidak pernah berhasil. Suatu malam, aku paham, dia kesepian karena dia nggak punya teman sepermainan, dengan sikap kekanakan itu aku selalu berpikir bahwa Nakula selamanya ga akan pernah punya teman, makanya ...."

"Malam itu kamu ngaku sebagai Nakula dengan harapan bahwa aku akan jadi teman dia karena hutang nyawa?"

"Itu terdengar jahat, tapi aku nggak ada pilihan lain. Maafin aku, sekarang kamu udah tahu kebenarannya, kamu juga mungkin udah banyak makan hati sama dia, keputusan kamu mau ninggalin dia atau engga itu ada di tangan kamu."

"Kenapa kamu bilang gini?"

"Aku pikir, dengan membuat Nakula memiliki teman, Nakula akan berhenti menjadi manusia menyebalkan yang penuh dengan iri hati, tapi ternyata salah besar, Nakula tetaplah Nakula yang selalu iri hati."

"Nakula Cuma bodoh, Wa. Dia nggak sadar bahwa dia punya sosok kembaran yang begitu sayang sama dia. Kamu tahu alasan Nakula fitnah kamu?" Pandu menatap Sadewa yang menunduk dan Arfin yang sedari tadi memilih membisu dan menjadi pendengar.

"Belain Mas Bima. Mas Bima yang nyuruh Nakula ." Sadewa menjawabnya dengan nada pelan, masih mengingat percakapan yang begitu menyakiti hatinya dan menguras nalarnya.

"Nakula nggak salah, kan?" Pandu menarik napas panjang, kemudian lebih memilih memundurkan langkahnya.

"Nakula nggak salah, karena kalian sama-sama jadi korban keegoisan satu orang." Pandu memilih pergi, meninggalkan keheningan diantara Sadewa dan Arfin.

"Fin, kadang aku suka bingung, kenapa manusia menganggap bahwa kebahagiaan yang dimiliki orang lain adalah standar kebahagiaan dalam hidupnya, padahal manusia memiliki perjalanan yang berbeda."

Arfin tidak menjawab, karena jika membicarakan masalah bahagia dan parameter kehidupan, Arfin sependapat dengan Sadewa. 


TBC

DONG [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang