Sadewa memejamkan matanya sejenak saat pandangannya memburam, hal itu tentu saja membuat Arfin bergegas menghampiri sahabatnya itu yang entah kenapa sekarang terlihat pucat.
"Kamu oke?" Arfin merangkul Sadewa untuk duduk, lagi pula malam sudah larut, kedai juga sudah tutup dan melihat Sadewa yang terlihat tidak baik saat beres-beres membuat Arfin merasa khawatir.
"Cuma capek, Fin." Sadewa menarik napas panjang, memijat pelipisnya pelan, sesekali melirik ke arah jalanan.
"Kamu istirahat aja, aku tahu kamu bekerja keras sepanjang hari ini, aku akan beresin sisanya."
"Makasih, Fin." Sadewa menghela napas panjang, entah kenapa tiba-tiba dia merasakan sesak dan penat, Sadewa mengatur pernapasannya kemudian menarik napas panjang dan mencoba menenangkan diri.
Sadewa mengerjapkan matanya saat pandangannya kembali memburam, kepalanya terasa lebih pening.
"Wa, kamu mimisan." Arfin mendekat dengan wajah paniknya, bergegas meraih tisyu yang berada di salah satu meja dan membantu menyeka darah yang mengalir dari hidung Sadewa.
"Fin, ada apa?" suara yang Arfin kenal membuat Arfin menoleh dan Arfin menghela napas lega saat mendapati Arjuna datang dengan tergopoh bersama Srikandi.
"Mas, tolong." Arfin mencoba menahan tubuh Sadewa yang melemas, sedangkan Sadewa sendiri berusaha menjaga kesadarannya namun rasanya menjadi percuma, sehingga dia hanya berbisik di telinga Arjuna.
"Jangan katakan apa pun." hanya itu yang bisa Sadewa bisikkan sebelum akhirnya seluruh dunianya gelap dan sunyi.
___
Srikandi tersenyum saat melihat Sadewa mengerjapkan matanya pelan, setelah semalaman dia terjaga untuk memastikan bahwa kondisi Sadewa tidak memburuk. Srikandi tersenyum saat melihat termometer yang menunjukkan angka normal, dengan lembut Srikandi mengusap surai hitam Sadewa, mencoba membantu Sadewa mendapatkan kesadarannya.
"Bangun, dek." Srikandi memanggil Sadewa dengan lembut membuat Sadewa perlahan mendapatkan kesadarannya kembali.
"Mbak Sri?" Sadewa mencoba memanggil, untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah, Sadewa kemudian memandang sekitar dan menghela napas lega saat dia tidak mendapati langit-langit rumah sakit atau pun langit-langit kamarnya. Dia masih berada di kamar kecil yang berada di kedainya, memang ada ruangan kecil yang diperuntukkan untuk tempat istirahat dan meletakkan beberapa stok bahan makanan.
"Iya ini mbakmu yang paling cantik sendiri, gimana? masih pusing? kamu itu bikin Mbak, Mas Juna sama Arfin panik tahu nggak?"
"Mas Juna sama Arfin dimana, mbak ?" Sadewa mencoba bangkit dari posisinya dengan bantuan sri, Sadewa menghela napas panjang saat merasakan tubuhnya begitu lemas.
"Di depan, mereka tidur di sini semaleman buat jaga-jaga kalau kamu tambah sakit, semalem pas kamu setengah sadar Mas Juna terpaksa minumin paksa paracetamol, badanmu tu lhoo panas banget, sekarang minum dulu yaa, pasti kerasa pahit kan?" Srikandi membantu Sadewa untuk minum, kemudian dengan telaten menyuapi Sadewa dengan bubur yang dia buat dari bahan makanan yang ada di kedai.
"Habis ini kamu istirahat dulu, nanti kamu bisa kerja lagi kalau udah agak segeran, Ibu dan Bapak bilang nanti mau ke sini sekalian mau belanja buat kamu."
"Mbak bilang ke Bapak dan Ibu kalau aku sakit?"
"Iya. Tapi, mereka juga kelimpungan di rumah, Nakula juga sakit. Dan mbak bisa pastiin penyebab kamu sampai pingsan semalem yaa karena kamu ngerasain sakit yang sama seperti Nakula. Mau bagaimana pun, kalian tetap saudara kembar yang memiliki ikatan." Srikandi menarik napas panjang, meletakkan mangkuk buburnya kemudian memeluk erat tubuh Sadewa.
"Maafin Mbak Sri yaa, Dek." Srikandi mengeratkan pelukannya, rasanya lega, rasanya begitu lega saat dia mendapat balasan yang sangat lembut.
"Semuanya udah kumaafin kok, karena kita sama-sama salah."
"Mbak tunggu kepulanganmu, Dek. Bima juga sebentar lagi bakal pulang, dia udah dapat donor jantung, dan semuanya akan bahagia, Dek." Srikandi melepaskan dekapannya, kemudian menangkup pipi tirus Sadewa.
"Setelah ini, kita bahagia sama-sama lagi yaa, Dek." Srikandi mengecup kening Sadewa, hatinya tiba-tiba terasa sangat lega.
"Habisin buburnya yaa, habis itu minum obat terus istirahat." Srikandi kembali menyuapi Sadewa, sesekali bercanda untuk mengurangi canggung.
Arjuna yang sudah terjaga, memandang kosong ke arah depan, dia mendengar percakapan Srikandi dan Sadewa juga mendengar harapan Srikandi tentang kehidupan bahagia yang akan mereka rasakan nanti.
"Sri, sayangnya Sadewa memilih untuk bahagia sendirian, karena dia sudah lelah dan memutuskan untuk pasrah dan menyerah. Aku hanya berharap, semoga kalian bisa membujuk takdir dan Sadewa untuk memberikan sebuah kesempatan." Arjuna, hanya mampu menggumam dalam hati.
TBC