"Ini aneh, kenapa sekolah mendadak menuduh orang yang tidak bersalah dalam kasus ini, apakah pengakuan Sadewa belum cukup?" Srikandi mendengkus kesal begitu sampai di rumah, Bapak dan Ibu sendiri memilih diam tanpa kata.
Ibu membuka pintu rumah tanpa aksara, lidahnya terkunci sebab rasa ragu dan tidak percaya. Ibu hanya merasa menjadi Ibu yang gagal untuk anak-anaknya, kalimat Damar tentang Sadewa membuat Ibu kacau.
Bapak sendiri hanya mampu diam, menatap Ibu yang sedari tadi diam, sebagai kepala keluarga rasa bersalah Bapak tentu lebih besar. Semua ini karenanya, karena dia menyeret Ibu ke dalam kehidupan sederhana, memaksa Ibu ikut berjuang keras bersamanya, mencari nafkah demi menghidupi keempat anaknya.
"Buk, dalam hal ini Sadewa tetap bersalah." Srikandi masih belum reda emosinya, wajahnya masih memerah meskipun hatinya bergemuruh, Srikandi dilema namun dia tidak mau terlihat bimbang di hadapan Bapak dan Ibu, sebagai anak pertama Srikandi harus pintar mengambil sikap, termasuk membantu Bapak dan Ibu membuat keputusan.
"Sudahlah, Sri. Kita serahkan sama sekolah, mereka akan menyelidiki." Ibu menengahi, hatinya masih lelah, Ibu ingin istirahat sebentar untuk mendinginkan kepalanya.
Langkah Ibu terhenti di depan pintu kamar Sadewa, entah kenapa hati Ibu bergemuruh hanya melihatnya, Ibu mendekat, mencoba mengetuk pintu kamar Sadewa.
Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Tidak ada jawaban, dibandingkan jawaban pikiran Ibu sudah melayang ke masa kecil Sadewa, Ibu pernah membujuk Sadewa yang sedang marah karena gagal pergi ke Pantai karena bima tiba-tiba kambuh.
Ibu menggelengkan kepalanya, mencoba membuka pintu namun nihil, hingga Ibu melihat sesuatu berkilau di lantai, Ibu berjongkok dan menemukan sebuah kunci, dadanya bergemuruh dan semakin bergemuruh saat kunci itu sempuna masuk ke dalam lubang kunci dan berhasil membuat pintu kamar Sadewa terbuka.
Ibu menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir kemungkinan terburuk yang ada di kepalanya, Ibu jatuh terduduk saat mendapati selembar kertas berada di sana terselip di bawah sebuah buku diary, kertas itu melambai terbawa angin yang berhembus dari jendela yang terbuka.
Ibu bersimpuh, meremas kertas tersebut penuh emosi. Untuk saat ini, Ibu benar-benar merasa bahwa dia adalah seorang Ibu yang gagal melindungi perasaan anaknya.
Sadewa pergi, Sadewa meninggalkan rumah hanya meninggalkan secarik kertas yang membuatnya merasa bersalah. Ibu tidak lagi bisa membujuk Sadewa dengan janji, karena bahkan janji-janji itu sudah sering diingkari, Sadewa yang pergi dari rumah bukan Sadewa yang masih berusia 5 tahun yang bisa dibujuk dengan janji manis.
Ibu menguatkan diri untuk melangkah, kemudian menatap Bapak dengan mata yang penuh linangan air mata. Tangan Ibu menggenggam erat kertas yang ditinggalkan dewa.
"Pak, siapa pun yang bersalah, Ibuk tidak peduli. Yang Ibuk inginkan saat ini adalah kepulangan Sadewa agar Ibuk bisa memeluknya erat dan menepati janji-janji manis Ibuk di masa kecil Sadewa." Ibu terisak, lututnya kembali terasa lemas.
"Bawa Sadewa pulang, Pak. Biarkan Ibuk memeluknya."
Bapak mendekat, meremas kedua bahu Ibu yang bergetar karena isakannya.
"Apa maksud Ibuk? Sadewa ada di sini kan?" Bapak bukannya tidak paham, tapi Bapak berusaha menyangkalnya, Bapak berusaha menolaknya. Berbeda dengan Bapak , Srikandi memilih bangkit menuju kamar Sadewa, membuka almari pakaian Sadewa dan mengacak-ngacak meja belajar Sadewa, setelahnya Srikandi duduk lemas bersenderkan meja belajar Sadewa.
Srikandi awalnya juga menolak, namun melihat bagaimana almari pakaian Sadewa yang berantakan, meja belajar yang terlihat berantakan membuat Srikandi tidak mampu lagi berpikir positif. Srikandi mengusap wajahnya kasar, dia tidak paham kenapa dia menangis sekarang, dia tidak paham kenapa hatinya terasa sakit dan dipenuhi rasa bersalah.
Srikandi terisak di kamar Sadewa, ditemani angin yang bertiup lewat jendela yang membuka lembar-lembar buku di atas meja.
Siang itu, di saat yang bersamaan ada tiga hati yang diliputi rasa bersalah yang berusaha ditutupi.
____
Pandu menghela napas panjang saat melihat Nakula yang terlihat biasa saja, terlampau biasa untuk seseorang yang saudaranya ... bukan lebih tepatnya keluarganya sedang berada dalam masalah. Pandu paham permasalahan pelik yang sayangnya terlihat kekanakan di matanya, tentang Nakula yang menurutnya sudah melampaui batas yang seharusnya.
"Nakula , bukankah harusnya kamu pulang dan menenangkan orang tuamu?"
"Untuk apa? tujuanku udah tercapai. Membuat Sadewa hancur dan benar-benar hancur, kenapa aku harus memperbaiki apa yang menjadi tujuanku? dia boleh unggul di sekolah, tapi di rumah, aku adalah rajanya."
"Sadewa saudara kembarmu, identik malahan. Kenapa harus menyakitinya sejauh ini? aku yakin, Sadewa pasti paham dengan konflik batinmu saat kamu bilang sama dia."
"Berisik. Lama-lama kamu kedengeran kaya' Sadewa tahu nggak." Nakula memilih berdiri, hatinya sedang campur aduk tidak karuan.
Ada sudut hatinya yang merasa puas melihat Sadewa hancur, namun ada sudut hatinya yang terasa sakit. Nakula menghela napas panjang, rasanya sangat melelahkan untuk berpura-pura setiap hari, terlebih berpura-pura membenci saudara sendiri.
Nakula menghembuskan napas panjang, mungkin orang lain melihat bahwa dia begitu membenci Sadewa, namun berbeda saat dia berhadapan dengan Sadewa. Nakula tidak akan sanggup membawa kebencian, namun entah kenapa.
Untuk kali ini, Nakula memulai dengan sugestinya, sejak dia menjalankan rencana jahatnya, sejak saat itu rasa benci itu tertanam. Nakula akan membenci Sadewa selamanya.
Ya, selamanya.
TBC